Bogor (ANTARA) - Planet bumi merupakan tempat kehidupan makhluk hidup yang beraneka ragam jenisnya. Pada permukaan bumi memiliki lapisan udara yang dinamakan dengan atmosfer. Salah satu fungsi lapisan atmosfer ini adalah menahan panas yang dipantulkan oleh permukaan bumi melalui gas CO, CH, NO, dan uap air yang dikenal sebagai gas rumah kaca. Gas inilah menjaga suhu bumi agar tetap layak huni bagi makhluk hidup.
Jika atmosfer mengalami kelebihan gas rumah kaca maka akan mengalami kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi secara signifikan. Jumlah gas rumah kaca kali ini mengalami kenaikan signifikan/nyata dan bahayanya dimulai dari adanya Revolusi Industri (sekitar 1750-an) di Eropa.
"Pada tahun 2024 gas rumah kaca di atmosfer mencapai level tertinggi yang pernah tercatat," kata perwakilan European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) Laurence Rouil dalam siaran pers.
Paru-paru dunia berupa hutan dalam kondisi normal memiliki kemampuan menjaga kestabilan suhu permukaan bumi. Namun kondisi hutan pun mengalami kehilangan tutupan hutan yang berubah menjadi non hutan secara permanen (ladang, pemukiman, tambang, dan lain).
Menurut Global Forest Watch, bahwa Indonesia mengalami kehilangan hutan sekitar 203 ribu hektar pada tahun 2022. Tak cukup demikian, hutan juga mengalami penurunan kualitas ekosistem tanpa mengubah status lahan sebagai hutan.
Tentu hal ini tak boleh dibiarkan. Permasalahan lingkungan ada di hadapan kita. Alam membutuhkan penanganan yang benar, tepat, dan berkah. Manusia sebagai khalifah seharusnya memberikan kemakmuran bukan kehancuran. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dia yang telah menciptakan kamu dari bumi dan menugaskan kamu untuk memakmurkannya.” (TQS. Hud: 61).
Kampanye dan aksi serta kebijakan apa pun bidangnya haruslah membawa alam menjadi penuh keberkahan. Solusi pasti dapat dihadirkan secara sistem maupun teknis. Mari berikan kontribusi pikiran, tenaga, suara, tulisan, dan lainnya agar bumi lestari. Membangun generasi berbasis literasi akan membawa peradaban yang mulia.
SMP IT Insantama Kota Bogor bekerja sama dengan Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM) FMIPA IPB University mengadakan Talkshow Edukatif bertemakan “Literasi Cuaca dan Iklim untuk Bumi Lestari”.
Agenda yang berlangsung pada hari Senin, 27 Oktober 2025 di Auditorium SIT Insantama diikuti oleh seluruh siswa SMP IT Insantama, perwakilan orang tua siswa, dan para tamu undangan.
Tujuan mengadakan acara ini lebih menekankan pada pemahaman tentang Perubahan Iklim dan dampaknya serta mendorong aksi berbasis literasi dari generasi muda dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Kegiatan ini merupakan rangkaian acara Pra-Maca Expo yang akan digelar pada tanggal 7 – 8 November 2025 dengan mengangkat tema “Berliterasi untuk Bumi Lestari”.
Talkshow ini menghadirkan 3 narasumber pakar bidang perubahan cuaca dan iklim dari Departemen GFM FMIPA IPB University. Narasumber pertama yaitu Dr. Ana Turyanti, S.Si, M. T (Ketua Departemen GFM FMIPA IPB University) yang membahas tentang perubahan iklim.
Sementara dampak dari perubahan iklim ini menjadi materi narasumber kedua yaitu Dr. Ir. Rini Hidayati, M. S (Direktur CCROM-SEAP IPB University).
Narasumber ketiga Dr. Idung Risdiyanto, S.Si, M. Sc selaku Kepala Laboratorium Terpadu Departemen GFM IPB University yang membahas literasi alat pengukur cuaca.
Beliau juga menginisiasi pemasangan alat pengukur cuaca atau disebut AWS (Automatic Weather Station) yang dapat diakses secara online dengan titik di SIT Insantama. Boleh dikatakan ini merupakan titik pertama dari sekolah di Kota Bogor yang memiliki alat pengukur cuaca berbasis internet.
Harapan dari adanya agenda ini mampu mendorong berbagai pihak untuk lebih peduli dan serius dalam isu perubahan iklim khususnya dalam dunia pendidikan dan literasi. Keterlibatan insan pers sangat penting untuk memperluas jangkauan kampanye literasi cuaca dan iklim ke seluruh pihak dalam dunia pendidikan.
