Jakarta (ANTARA) - Inisiatif seperti penerapan micro-credentials atau sertifikat modular, yang kini diakui perusahaan teknologi global sekelas Google dan IBM, membuktikan satu hal: pendidikan tinggi tak harus selalu serba panjang dan bergelar.
Demikian pula, dorongan mengoptimalkan pesantren sebagai "hub inovasi perdesaan" dan pusat penyebaran teknologi tepat guna menunjukkan bahwa aset budaya lokal adalah kunci transformasi.
Contoh-contoh konkret di lapangan menunjukkan pendidikan mulai mengadopsi pendekatan asimetris dan adaptif. Langkah-langkah tersebut, meskipun terpisah, secara fundamental akan mengubah fungsi kampus, dari sekadar "pabrik ijazah" menjadi "motor transformasi sosial".
Namun, solusi ini baru akan mekar jika kita mau jujur melihat celah besarnya. Meskipun negara telah mengalokasikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan, sebuah komitmen finansial besar, efektivitasnya masih dipertanyakan.
Masalahnya bukan lagi berapa banyak uang yang dihabiskan, melainkan bagaimana uang itu digunakan untuk menciptakan terobosan yang berdampak.
Fakta lapangan menunjukkan banyak penelitian kampus hanya berakhir di rak-rak perpustakaan yang lusuh tanpa menyentuh denyut nadi masyarakat.
Kondisi tersebut tercermin dari rendahnya jumlah paten yang didaftarkan perguruan tinggi kita serta minimnya kontribusi riset terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Jelas, kita masih bergumul dengan masalah kualitas mendasar.
Masalah kualitas tersebut tak bisa dilepaskan dari fondasi lulusan yang masuk ke perguruan tinggi. Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) berulang kali menunjukkan kemampuan literasi, numerasi, dan sains siswa kita masih berada di papan bawah global, mengindikasikan fondasi kritis pelajar kita rapuh.
Ketika fondasi awal lemah, perguruan tinggi pun kesulitan mencetak lulusan yang adaptif, kreatif, dan resilien --keterampilan vital di tengah arus disrupsi.
World Economic Forum bahkan mencatat bahwa 44 persen keterampilan kerja akan terdisrupsi dalam lima tahun ke depan akibat kecerdasan buatan dan teknologi baru.
Di sinilah letak ironi terbesar: kita masih berpegangan pada kurikulum yang kaku dan ekosistem riset yang terisolasi. Perguruan tinggi kita cenderung menjadi "menara gading" alih-alih "jangkar pembangunan lokal".
John Dewey telah mengingatkan dalam bukunya Democracy and Education bahwa pendidikan yang gagal terkoneksi dengan realitas sosial hanya akan melahirkan "pengetahuan yang mati".
Oleh karena itu, kita harus segera bergerak melampaui paradigma lama demi memenuhi harapan besar Presiden Prabowo Subianto tentang kontribusi nyata pendidikan tinggi bagi pembangunan bangsa, sejalan dengan visi Asta Cita.
Panggilan transformasi sesungguhnya berakar pada filosofi pendidikan bangsa sendiri. Ki Hajar Dewantoro menekankan bahwa pendidikan adalah upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak.
Konsepnya tentang Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani (di depan memberi teladan, di tengah membangun kemauan, di belakang memberi dorongan) relevan untuk konteks kampus.
Kampus tidak bisa hanya menanamkan ilmu; ia harus menjadi teladan karakter sekaligus pendorong kemandirian berpikir. Prinsip tersebut menegaskan bahwa kampus harus melayani mahasiswa sebagai subjek yang memiliki kodratnya sendiri.
Artinya, kurikulum kaku harus diganti dengan pembelajaran yang mengakui keunikan potensi setiap individu, sejalan dengan dorongan Deep Learning yang kita bahas.
*) Rioberto Sidauruk adalah Dosen STIH Gunung Jati Tangerang dan bertugas sebagai Tenaga Ahli AKD DPR RI
