Mataram (ANTARA) - Di tengah riuh wacana Pekan Olahraga Nasional (PON) 2028, Stadion GOR 17 Desember Turide di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) masih berdiri dengan wajah lamanya.
Turide, bukan hanya sekadar lapangan, melainkan saksi sejarah olahraga di NTB, tempat ribuan atlet berlatih, lomba digelar, dan masyarakat berkumpul.
Rumput lapangan masih menjadi arena latihan rutin, tribun yang luas belum tersentuh renovasi besar, dan hanya sketsa desain di meja rapat yang memberi bayangan bahwa stadion ini akan menjadi arena megah berstandar internasional. Turide adalah simbol persimpangan besar yang dihadapi NTB antara rencana di atas kertas dan realita yang harus diwujudkan di lapangan.
Rencana revitalisasi Turide bukan proyek kecil. Anggarannya diperkirakan mencapai setengah hingga satu triliun rupiah, dengan fasilitas pendukung mulai dari wisma atlet, arena pencak silat, lapangan latihan tambahan, hingga plaza dan masjid.
Stadion ini direncanakan menjadi venue utama sekaligus lokasi penutupan PON. Pilihan renovasi dipilih karena membangun stadion baru jauh lebih mahal, bisa menembus angka Rp1,7 triliun.
Namun, angka besar ini bukan sekadar biaya. Ia adalah ujian kapasitas perencanaan, koordinasi, dan manajemen proyek di daerah dengan waktu yang semakin menipis.
Selain Turide, NTB menyiapkan pembangunan dan perbaikan arena lain seperti GOR bola basket di Gunung Sari, GOR voli indoor di Kota Bima, serta fasilitas panjat tebing. Di Sumbawa dan Lombok Timur, beberapa GOR lama juga akan diperbaiki.
Strateginya jelas, venue baru dibangun seperlunya, sedangkan sisanya memanfaatkan fasilitas yang sudah ada. Sirkuit Mandalika, Sky Lancing untuk paralayang, Dam Meninting untuk dayung, hingga aula hotel dan kampus menjadi bagian dari strategi hybrid ini.
Pendekatan ini diharapkan menekan risiko fasilitas mangkrak pasca-PON sekaligus memaksimalkan penggunaan infrastruktur yang ada.
Di atas kertas, total anggaran PON yang digelar di NTB dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dipatok antara Rp3,3 hingga Rp4 triliun. Pola pembiayaan terbagi yakni 50 persen APBN, 20 persen APBD provinsi, dan 30 persen APBD kabupaten/kota.
Skema ini logis karena setelah PON selesai, kabupaten/kota menjadi pemilik arena. Namun, pembagian beban anggaran menuntut koordinasi tinggi. Tanpa transparansi dan kontrol yang ketat, risiko pembengkakan biaya dan keterlambatan bisa menjadi nyata.
Tidak ada kompromi bahwa setiap stadion, lapangan, dan fasilitas harus memenuhi standar federasi, termasuk aspek keamanan, aksesibilitas, dan kualitas lapangan.
Tantangan terbesar bukan hanya keberhasilan penyelenggaraan, tetapi warisan setelah event selesai. Stadion dan GOR baru harus tetap produktif dengan agenda rutin baik liga lokal, kejuaraan nasional, hingga event internasional.
Bendungan yang digunakan untuk dayung bisa dikembangkan sebagai destinasi wisata olahraga. Jika tidak, fasilitas megah bisa berubah menjadi monumen kosong yang menyedot APBD untuk perawatan, meninggalkan kesan bahwa PON hanyalah pesta sesaat tanpa dampak jangka panjang.
NTB kini berada di persimpangan penting. Di satu sisi, ada peluang emas untuk mengangkat martabat daerah melalui PON 2028. Di sisi lain, ada risiko besar jika persiapan tidak konsisten.
Kesiapan NTB tidak cukup diukur dari gambar desain stadion atau janji jumlah medali. Ia harus diwujudkan melalui konsistensi dengan cara merawat infrastruktur, membina atlet secara berkelanjutan, mengelola anggaran transparan, dan menyiapkan rencana pasca-event yang matang.
PON hanyalah panggung. Yang lebih penting adalah cerita yang ditampilkan di atas panggung itu, apakah NTB mampu menjadikan momentum ini tonggak sejarah kebangkitan olahraga, ataukah sekadar pesta sesaat yang cepat dilupakan.
Jawaban itu kini tergantung pada langkah nyata. Kapan rencana besar di atas kertas benar-benar diwujudkan di lapangan, dan sejauh mana persiapan akan berbuah prestasi dan warisan jangka panjang.
