Bondowoso (ANTARA) - Menjadi polisi di era demokrasi seperti saat ini memang sangat tidak mudah. Polisi menjadi harapan ideal di mata rakyat, sedangkan Polri dihadapkan pada berbagai tantangan yang tidak bisa berubah seketika.
Tentu saja rakyat tidak salah dengan harapannya itu. Hanya saja, upaya polisi, baik melalui institusi maupun upaya perorangan, untuk memenuhi harapan ideal itu tentu memerlukan waktu dan proses, selangkah demi selangkah.
Meskipun banyak bersentuhan dengan aspek fisik, sejatinya pekerjaan polisi di lapangan juga mengandung unsur seni, yakni mengolah jiwa. Di satu sisi, polisi harus tegas, tapi di sisi satunya, saat bersamaan, harus juga mengedepankan sikap humanis.
Hal yang membawa polisi sangat tidak mudah memenuhi harapan itu adalah karena tugas sehari-hari polisi banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Saat berhadapan dengan rakyat yang melanggar hukum karena tindakan kriminal, polisi harus mengedepankan kekuatan fisik untuk menjaga keselamatan diri dan orang banyak. Bahkan, nyawa si polisi juga menjadi taruhan. Pada saat itu pula, polisi juga dituntut untuk menjaga hak-hak asasi manusia.
Kita ambil contoh, saat menangani aksi unjuk rasa di gedung DPR RI, Jakarta, beberapa waktu lalu. Polisi menyadari bahwa yang mereka hadapi, sekaligus dijaga adalah rakyatnya sendiri. Pada situasi normal, polisi yang ideal bisa terwujud dengan mudah, tapi pada situasi yang mulai ricuh, polisi dituntut harus tegas.
Bagaimana mengelola kondisi jiwa dengan nuansa yang sesungguhnya bertolak belakang itu harus hadir secara bersamaan?
Mengharapkan polisi ideal dalam situasi yang sarat dengan kondisi paradoksal seperti itu, membuat kita terjebak dalam penilaian fatalistik bahwa polisi tidak berperikemanusiaan, polisi bekerja tidak profesional, dan sejumlah atribut negatif lainnya.
Dalam situasi seperti inilah, polisi serba salah. Menghadapi aksi massa yang ricuh itu, jika dibiarkan, polisi pasti diposisikan di pihak salah. Sementara jika ditindak tegas, dengan risiko menimbulkan kekerasan, juga sangat salah.
Pada situasi darurat seperti ini, sesungguhnya, antara rakyat yang menuntut keadilan dengan polisi yang menerima amanah menjaga keamanan juga sama.
Rakyat juga serba salah. Mereka berpandangan bahwa aksi yang dilakukan dengan biasa-biasa saja, cenderung tidak membuahkan hasil.
Aspirasi mereka kurang mendapat perhatian. Maka ketika suasana memanas dan tidak terkendali, rakyat menerima risiko dari sikap tegas polisi yang sedang bertugas. Keduanya kemudian menjadi "korban".
