Bandung (ANTARA) - Seekor Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) lepas dari penangkaran di Lembang Park and Zoo, Parongpong, Bandung Barat pada Kamis (28/8) pagi dan belum tertangkap sampai sekarang (Kamis, 4/9).
Macan tutul berusia tiga tahun dengan bobot sekitar 35–40 itu merupakan spesies yang sempat tersesat dan masuk ke Balai Desa Kutamadarakan, Kecamatan Maleber, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dan berhasil dievakuasi pada Selasa (26/8).
Selang sehari sejak dititipkan di Lembang Park and Zoo, pada Rabu (27/8), macan tutul ini dikabarkan lepas dengan cara menjebol atap kandang yang terbuat dari kawat. Predator puncak terakhir dari Pulau Jawa ini diduga mengalami stres karena faktor dispersal atau fase merantau.
Menurut keterangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, macan tutul tersebut diduga lepas ke arah kawasan hutan Gunung Tangkuban Parahu, setelah sebelumnya dikabarkan hanya berkeliaran di dalam area Lembang Park and Zoo.
Pihak Lembang Park and Zoo sendiri belum mau menjelaskan terkait fasilitas kandang yang digunakan untuk mengkarantina macan tutul tersebut.
Kasus Lepasnya macan tutul asal Kuningan dari Lembang Park Zoo ke wilayah Gunung Tangkuban Parahu, Lembang, ini harus mendapat perhatian serius dan ditangani sesegera mungkin.
Mengingat kondisi Tangkuban Parahu yang dihuni banyak penduduk dan menjadi destinasi wisata unggulan Jawa Barat, maka keberadaan macan tutul yang lepas tersebut berpotensi menimbulkan bahaya bagi keselamatan manusia, ternak, dan satwa yang dilindungi itu sendiri. Meskipun dilihat dari kondisi alamnya, sejatinya kawasan Tangkuban Parahu cocok sebagai habitat macan tutul.
Tingkat bahaya juga dapat meningkat jika macan tutul muda tersebut ternyata mengalami gangguan secara psikologis karena berbagai faktor, termasuk tingkat stres yang berlebihan. Hal ini bisa memicu macan tutul itu kembali ke pemukiman untuk mencari makanan, yang otomatis akan jadi konflik baru antara macan tutul dengan manusia.
Anggota Dewan Pengelola dari lembaga konservasi Taman Safari Indonesia (TSI) John Sumampau mengatakan penyelamatan hewan dengan segera jadi jalan yang terbaik, mengingat isu yang melibatkan satwa dilindungi semacam ini, mau tidak mau akan jadi perhatian dunia.
Pasalnya, translokasi kucing besar memiliki risiko sangat tinggi, seperti tingkat kematian yang tinggi, risiko kesejahteraan hewan, penyakit dan biaya yang tidak murah bahkan sangat besar.
Kasus pelarian macan tutul Jawa dari Kuningan hingga ke Gunung Tangkuban Parahu ini, menambah panjang catatan konflik antara spesies kucing besar terakhir Jawa itu dengan manusia.
Menurut Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hendra Gunawan, kasus konflik macan tutul dan manusia meningkat signifikan, baik frekuensi kejadiannya maupun lokasi kejadiannya.
Sejak tahun 2000 hingga 2024, konflik antara macan tutul dengan manusia sedikitnya pernah terjadi di 26 Kabupaten di Pulau Jawa.
Meski saat ini populasi macan tutul Jawa belum dapat diketahui pasti, mengingat masih dilakukan survey Javan Leopard Wide Survey (JLWS) oleh Kementerian Kehutanan, SINTAS, dan FORMATA, data jumlah konflim tersebut mengindikasikan kecenderungan penurunan jumlah spesies itu di alam liar; konflik terjadi karena luasan habitat macan tutul yang menurun kualitasnya atau bahkan hilang sama sekali.
Kebutuhan luasan habitat untuk jelajah harian (home range) seekor macan tutul sangat bervariasi tergantung pada kekayaan habitatnya akan satwa mangsa. Semakin melimpah jumlah satwa mangsa, biasanya semakin kecil home range macan tutul.
Untuk kondisi hutan-hutan yang masih baik di kawasan konservasi yang aman di Jawa yang kaya akan satwa mangsa, kebutuhan home range macan tutul berkisar antara 600-800 hektar per ekor di habitat.
Sebagai pembanding, Seidensticker dkk (1990) mencatat home range macan tutul betina di Royal Chitwan National Park, Nepal, antara 600-1.300 hektare per individu. Sementara Matthew H Snider dkk (2021) mencatat home range macan tutul di India 1.450 hektar dan di Namibia 885.6 hektar.
Adapun penelitian di Gunung Sawal yang sudah mengalami perambahan dan terjadi penurunan luas dan kualitas habitat, didapatkan angka 1.000 hektare per ekor, yang terus bisa terjadi penurunan populasi bahkan kepunahan jika tidak ada upaya restorasi habitat.
Penurunan kualitas atau hilangnya habitat macan tutul ini, terjadi akibat peningkatan intensitas fragmentasi habitat (Habitat fragmentation), yaitu pemotongan habitat-habitat oleh pembangunan jalan raya atau jalan tol, penggenangan waduk dan pembangunan permukiman, serta ekspansi pertanian di kawasan hutan yang terjadi di berbagai daerah.
Kawasan hutan yang digarap menjadi lahan pertanian, baik secara monokultur maupun secara agroforestri, menyebabkan perubahan struktur dan komposisi vegetasi hutan. Hal ini berpengaruh terhadap ketersediaan satwa yang merupakan mangsa dari macan tutul, seperti babi hutan, kijang, kancil, monyet, lutung, owa, surili, dan hewan herbivora lainnya.
Fenomena semakin sering dan banyaknya kasus macan tutul memangsa ternak, atau masuk permukiman seperti yang terakhir di Kuningan, juga menjadi indikasi dari berkurangnya luasan habitat dan menurunnya populasi satwa mangsa di habitat tersebut yang dapat menyebabkan macan tutul juga mengalami penyusutan populasi.
Baca juga: Macan tutul lepas dari Lembang Park and Zoo diduga ke hutan Gunung Tangkuban Parahu
Baca juga: BBKSDA sebut macan tutul yang lepas di Lembang hasil evakuasi dari Kuningan
