Jakarta (ANTARA) - Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang diajukan Presiden Prabowo Subianto mengusung tema besar: “Ekonomi Tangguh, Mandiri, dan Sejahtera.”
Tema ini menegaskan arah pembangunan Indonesia untuk memperkuat daya tahan menghadapi ketidakpastian global, sekaligus mendorong kesejahteraan rakyat.
Dalam rancangan ini, pemerintah menargetkan pendapatan negara Rp3.147,7 triliun dan belanja negara Rp3.786,5 triliun, dengan defisit 2,48 persen dari PDB atau sekitar Rp638,8 triliun. Angka defisit ini tetap berada di bawah ambang batas 3 persen, menandakan kehati-hatian fiskal sekaligus komitmen menuju keseimbangan APBN pada 2027–2028.
Jika dibandingkan dengan APBN 2025, terlihat kenaikan belanja yang moderat. Pada 2025, belanja negara ditetapkan Rp3.621,3 triliun, sedangkan pada 2026 meningkat menjadi Rp3.786,5 triliun. Dengan kata lain, terjadi kenaikan sekitar 4,6 persen.
APBN 2025 menempatkan sektor pendidikan (Rp724,4 triliun) dan kesehatan (Rp504,7 triliun) sebagai dua prioritas utama, selain infrastruktur (Rp400,3 triliun). Komposisi ini menunjukkan fokus pada pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan fondasi ekonomi jangka panjang.
Namun demikian, RAPBN 2026 membawa warna baru dalam perekonomian nasional. Dimana alokasi terbesar justru diberikan kepada Badan Gizi Nasional (BGN) dengan anggaran mencapai Rp217,8 triliun. Porsi ini menegaskan prioritas pemerintah pada program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang ditargetkan menjangkau lebih dari 82 juta penerima manfaat hingga akhir 2025, lebih cepat dari target awal tahun 2029.
Dengan demikian, terjadi pergeseran orientasi pembangunan yang semula memprioritaskan pembangunan fisik (infrastruktur) menuju pembangunan manusia berbasis gizi.
Perubahan orientasi pembangunan ini tentunya sejalan dengan visi jangka panjang bahwa generasi sehat adalah prasyarat utama produktivitas bangsa. Selanjutnya produktivitas bangsa akan mendorong terjadinya inovasi termasuk dalam ekonomi yang tangguh dan mandiri.
Tantangan Fiskal
Di balik kenaikan belanja negara pada RAPBN 2026, terselip sejumlah tantangan yang cukup serius. Struktur anggaran memperlihatkan adanya pergeseran dari belanja produktif ke belanja yang lebih rigid dan konsumtif.
Data dari INDEF menunjukkan bahwa porsi belanja modal terus menurun dan kini hanya berada di kisaran 8,74 persen dari total belanja pusat. Angka ini relatif kecil, mengingat belanja modal mencakup pembangunan infrastruktur dasar yang menjadi penggerak pertumbuhan jangka panjang.
Penurunan belanja modal ini mengandung risiko strategis. Dalam jangka pendek, pemerintah memang dapat menyalurkan lebih banyak anggaran ke belanja sosial, subsidi, maupun program gizi. Namun, dalam jangka panjang, lemahnya investasi infrastruktur akan menghambat produktivitas nasional dan membuat daya saing Indonesia stagnan. Padahal, infrastruktur adalah enabler utama untuk menurunkan biaya logistik, meningkatkan konektivitas wilayah, dan memperkuat kapasitas produksi.
Sementara itu, belanja bunga utang justru melonjak hingga mencapai 19,11 persen dari total belanja pusat. Kondisi ini menegaskan bahwa sebagian besar ruang fiskal habis untuk membayar kewajiban masa lalu.
Dengan kata lain, APBN semakin “terikat” pada beban utang, sehingga fleksibilitas belanja untuk program pembangunan berkurang. Fenomena ini juga merefleksikan kecenderungan meningkatnya kebutuhan pembiayaan melalui penerbitan utang, yang jika tidak diimbangi dengan penerimaan negara yang kuat, akan mempersempit ruang gerak fiskal di tahun-tahun mendatang.
Selain itu, pos belanja lain-lain ikut membengkak hingga 15,59 persen. Kategori ini kerap dinilai problematis karena sifatnya yang tidak terlalu transparan, mencakup pengeluaran yang tidak terklasifikasi secara rinci.
Kenaikan ini memang memberi ruang fleksibilitas fiskal, tapi di sisi lain menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan akuntabilitas penggunaan anggaran. Tanpa pengawasan ketat, pos ini berpotensi menjadi titik lemah dalam tata kelola fiskal.
Jika ditarik garis besar, arah RAPBN 2026, memperlihatkan pergeseran struktur belanja dari produktif ke arah yang kurang produktif. Porsi untuk pembangunan infrastruktur menurun, sementara beban utang dan pos belanja yang kurang jelas justru meningkat.
Jika tren ini berlanjut, APBN dikhawatirkan kehilangan peran strategisnya sebagai akselerator pembangunan jangka panjang.
Sedangkan dari aspek penerimaan negara, pemerintah mengambil langkah hati-hati yang antara lain tercermin dengan tidak ada pajak baru yang akan dikenalkan pada 2026.
Kebijakan ini tentu positif dari sisi menjaga iklim usaha dan konsumsi masyarakat. Namun, strategi tersebut membuat pemerintah harus mengandalkan ekstensifikasi pajak, peningkatan kepatuhan, serta optimalisasi penerimaan dari sumber daya alam. Dengan demikian, keberhasilan reformasi perpajakan dimulai dari digitalisasi melalui Coretax, integrasi NIK dan NPWP, hingga penguatan basis pajak sektor ekonomi baru yang akan sangat mempengaruhi ruang fiskal 2026.
Keseimbangan RAPBN 2026 sangat bergantung pada dua hal. Pertama, kemampuan pemerintah menjaga efisiensi belanja agar tidak tersedot terlalu banyak ke bunga utang dan pos konsumtif. Kedua, keberhasilan reformasi perpajakan untuk memastikan penerimaan negara cukup kuat menopang belanja yang semakin besar.
Jika kedua hal ini dapat dikendalikan, RAPBN 2026 tidak hanya berfungsi menjaga stabilitas jangka pendek, tetapi juga tetap memberi ruang investasi produktif bagi masa depan Indonesia.
Pertumbuhan untuk penguatan
RAPBN 2026 dirancang dengan target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, lebih tinggi dari proyeksi Bank Dunia maupun IMF yang menempatkan pertumbuhan Indonesia di kisaran 5 persen.
Optimisme pertumbuhan tersebut didasarkan pada dorongan investasi, ekspor, digitalisasi, dan penguatan Sovereign Wealth Fund (Danantara) untuk menopang proyek strategis nasional.
Selain itu, indikator makro lain ditetapkan dengan cukup konservatif: inflasi 2,5 persen, nilai tukar rupiah Rp16.500 per dolar AS, yield obligasi 10 tahun di 6,9 persen, dan harga minyak dunia US$70 per barel. Kerangka ini menunjukkan sikap realistis pemerintah dalam menghadapi volatilitas global, sekaligus menjaga daya beli masyarakat.
Secara deskriptif, RAPBN 2026 menghadirkan dua wajah. Di satu sisi, ia mencerminkan komitmen terhadap pembangunan manusia, melalui program gizi, pendidikan, dan kesehatan. Di sisi lain, terdapat tantangan pengelolaan fiskal, terutama terkait membengkaknya porsi belanja bunga utang dan berkurangnya belanja modal.
Postur RAPBN 2026 secara eksplisit memperlihatkan pergeseran orientasi pembangunan ke arah penguatan sumber daya manusia (SDM). Pemerintah menempatkan gizi dan kesehatan anak sebagai fokus utama, salah satunya melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini tidak hanya dipandang sebagai bantuan sosial semata, tetapi sebagai investasi jangka panjang.
Di tengah prioritas besar pada pembangunan manusia, pemerintah tetap menjaga disiplin fiskal. Defisit APBN 2026 ditetapkan di angka 2,48 persen dari PDB, masih jauh di bawah batas aman 3 persen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Sikap ini penting karena menunjukkan komitmen pemerintah untuk tidak mengorbankan stabilitas jangka panjang demi belanja jangka pendek.
Menariknya, pemerintah juga menegaskan tidak akan mengenalkan pajak baru pada 2026. Kebijakan ini memberi sinyal kuat bahwa arah fiskal lebih bersahabat dengan dunia usaha dan masyarakat. Fokus bukan pada menambah beban baru, melainkan memperbaiki sistem yang ada melalui ekstensifikasi basis pajak, peningkatan kepatuhan, serta optimalisasi penerimaan sumber daya alam. Dengan kata lain, ruang fiskal ditopang bukan oleh instrumen baru, tetapi oleh efektivitas reformasi perpajakan.
Kombinasi antara defisit rendah dan strategi penerimaan yang hati-hati ini diharapkan dapat menjaga kepercayaan investor, menstabilkan pasar keuangan, sekaligus menjaga daya beli masyarakat secara berkesinambungan.
Tangguh dan Mandiri
Gambaran RAPBN 2026 secara keseluruhan menunjukkan bahwa APBN tidak sekadar instrumen fiskal, melainkan juga sebagai alat untuk mewujudkan ekonomi yang tangguh dan mandiri.
Dengan menempatkan rakyat sebagai pusat pembangunan, pemerintah menegaskan bahwa kesejahteraan tidak hanya diukur dari angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari kualitas hidup masyarakat.
Namun, keberhasilan RAPBN 2026 akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah menjaga keseimbangan antara konsumsi dan investasi, antara belanja sosial dan belanja modal, serta antara ambisi pertumbuhan dan kehati-hatian fiskal. Jika keseimbangan ini tercapai, RAPBN 2026 bisa menjadi pijakan penting menuju Indonesia yang tangguh, mandiri, dan sejahtera.
Selanjutnya RAPBN 2026 juga memberikan harapan sekaligus tantangan.
Di satu sisi, ia memperlihatkan keberpihakan pada pembangunan manusia, khususnya generasi muda melalui program gizi dan kesehatan. Di sisi lain, pemerintah menunjukkan disiplin dengan menjaga defisit di bawah 3 persen PDB tanpa menambah pajak baru. Namun, struktur belanja yang semakin condong ke arah kurang produktif menimbulkan risiko jangka panjang, sehingga strategi rebalancing menjadi keniscayaan.
Dengan menjaga keseimbangan antara investasi SDM, stabilitas fiskal, dan penguatan belanja produktif, RAPBN 2026 diharapkan dapat benar-benar menjadi instrumen strategis untuk membangun bangsa yang tangguh, mandiri, dan sejahtera.
Meski arah kebijakan terlihat progresif, RAPBN 2026 tetap menyimpan tantangan struktural. Salah satunya adalah menurunnya porsi belanja modal yang kini hanya sekitar 8,74 persen dari total belanja pusat. Padahal, belanja modal mencakup pembangunan infrastruktur dasar berupa jalan, irigasi, listrik, dan telekomunikasi yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan jangka panjang.
Di sisi lain, belanja bunga utang meningkat hingga 19,11 persen, sementara pos belanja lain-lain membengkak menjadi 15,59 persen. Keduanya tergolong belanja yang kurang produktif karena tidak langsung mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika tren ini terus berlanjut, maka ruang belanja untuk pembangunan produktif akan semakin menyempit.
Oleh karena itu, diperlukan strategi rebalancing fiskal pada tahun-tahun berikutnya. Rebalancing berarti mengatur ulang proporsi belanja agar tidak terlalu berat ke pembayaran kewajiban dan belanja konsumtif, tetapi lebih banyak diarahkan kembali ke investasi produktif.
Dengan keseimbangan ini, RAPBN tidak hanya melindungi masyarakat dalam jangka pendek, tetapi juga menyiapkan fondasi pertumbuhan jangka panjang untuk pembangunan berkelanjutan.
*) Dr. M. Lucky Akbar, Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Kementerian Keuangan
