Jakarta (ANTARA) - "Yang patah tumbuh, yang hilang berganti..." Lirik lagu Banda Neira ini mirip duel Carlos Alcaraz vs Jannik Sinner di final French Open Minggu (8/6) malam yang seolah-olah sebuah kelahiran generasi tenis baru menggantikan "The Big Three."
Tepat dua pekan setelah Roland Garros melepas "kepergian" sang legenda Rafael Nadal, pemilik 14 gelar French Open, Alcaraz kembali mengangkat trofi mempertahankan gelar seperti yang dilakukan senior satu senegaranya itu di ibu kota Prancis.
Sementara Nadal mencatatkan kemenangan beruntun pada 2005-2008, dan 2010-2014, serta 2017-2020, Alcaraz mulai mengukir sejarah menjadi petenis putra termuda ketiga yang mencapai tonggak sejarah lima turnamen major -- hanya kalah dari Bjorn Borg (usia 21) dan Nadal (usia 22).
Pertarungan Alcaraz vs Sinner juga mengukir sejarah, menjadi final Roland Garros terpanjang, yakni selama lima jam dan 29 menit. Itu merupakan pertemuan pertama mereka di final Grand Slam.
Jika bisa konsisten dengan performa mereka, bukan tidak mungkin akan lebih banyak pertarungan di final major, seperti Nadal yang bersaing ketat dengan Roger Federer dan Novak Djokovic.
Warisan Nadal di Roland Garros tak tertandingi. Sejak debutnya memenangi gelar pada 2005, petenis Spanyol itu mengubah lapangan tanah liat Paris bak lapangan pribadinya.
Dari tahun 2005 hingga 2008, Nadal memenangi empat gelar berturut-turut, mengalahkan Federer di final sebanyak tiga kali dan yang paling menonjol adalah pada 2008, saat ia hanya kalah empat gim dari petenis Swiss itu.
Setelah kekalahan mengejutkan di babak keempat dari Robin Soderling pada 2009, kekalahan pertamanya di Roland Garros, Nadal kembali pada 2010 untuk membalas kekalahan melawan petenis Swedia itu di final dan memulai lima tahun lagi kemenangan beruntun.
Kemenangannya pada 2012 melawan Djokovic memberinya gelar ketujuh, melampaui Bjorn Borg. La Decima tiba tahun 2017, saat Nadal mengklaim gelar Roland Garros ke-10 yang bersejarah dengan kemenangan dominan.
Jika Nadal adalah "Raja lapangan tanah liat," Federer adalah "Penguasa lapangan rumput." Pemilik 20 gelar Grand Slam itu mencatatkan delapan gelar di Wimbledon, terbanyak dalam sejarah petenis putra di era modern, mengalahkan Pete Sampras.
Federer mencatatkan gelar beruntun 2003-2007 di All England, serta tiga gelar lagi pada 2009, 2012, dan 2017. Ia terakhir kali mencatatkan gelar Grand Slam di Australian Open pada 2018 sebelum pensiun pada 2022 pada usia 41 tahun setelah mengalami cedera lutut berulang.
Namun, catatan Federer di Australian Open jelas tidak sebanyak Novak Djokovic yang mendominasi Melbourne Park dengan 10 gelar mulai 2008 hingga 2023.
Sayangnya, dominasi petenis Serbia itu memudar selepas tahun 2023. Ia nyaris meraih Golden Slam pada 2023 -- dengan trofi di French Open dan US Open -- ketika kalah dari Alcaraz di final Wimbledon.
Meski begitu, Djokovic berhasil melengkapi kariernya dengan pertama kali medali emas Olimpiade Paris 2024, juga menambah pencapaian bersejarah terbaru dengan mengklaim gelar ke-100 di level tur di Gonet Geneva Open, Jenewa, Swiss, pada bulan lalu.
Djokovic juga masih mencatatkan presstasi baru di Roland Garros, dengan 100 kemenangan di turnamen major. Sayangnya, langkah petenis berusia 38 tahun itu di French Open terhenti di tangan Sinner sebelum petenis Italia itu berhadapan dengan Alcaraz di babak akhir.
Alcaraz vs Sinner: pertarungan penuh respek
Alcaraz menjatuhkan diri ke tanah liat lapangan Philippe-Chatrier ketika mengetahui perjuangannya selama lebih dari lima jam usai. Sejenak, ia menutup wajah dengan kedua tangan sebelum bangkit menyambut pelukan Sinner yang menghampiri ke seberang lapangan.
Usia mereka selisih kurang dari 19 bulan, dan seolah dengan cepat memantapkan diri sebagai pewaris era The Big Three.

Sinner meraih gelar Australian Open 2024 dan US Open 2024, menjadikannya pesaing ketat Alcaraz yang telah memenangi US Open 2022, Wimbledon 2023 dan 2024, serta Frech Open 2024.
Tak terkalahkan dalam tujuh final major secara kolektif, Alcaraz dan Sinner telah berhadapan 11 kali sebelumnya tetapi tidak pernah dengan taruhan sebesar gelar Grand Slam.
Petenis Spanyol itu tidak pernah bangkit dari ketertinggalan dua set untuk meraih kemenangan. Lebih dari itu, Roland Garros mencatat tidak pernah ada yang selamat dari ketertinggalan tiga kali tie-break.
Tekanan begitu besar ketika 15.000 orang di Chatrier mendambakan lebih dari pertarungan tersebut, dan ketika keduanya merasa seolah-olah mereka sedang mengerahkan cadangan mental dan fisik mereka.
Alcaraz menemukan cara untuk bermain lebih baik dari yang seharusnya. Akhirnya, ia menemukan bagaimana rasanya menang dalam keadaan seperti itu.
Petenis berusia 22 tahun itu bangkit dari ambang kekalahan untuk mempertahankan gelarnya, 4-6, 6-7(4), 6-4, 7-6(3), 7-6(10-2).
Pertarungan selesai dengan catatan waktu lima jam dan 29 menit, menjadi final Grand Slam terpanjang kedua setelah Djokovic mengalahkan Nadal dalam final Australian Open 2012.
Alcaraz menjadi yang pertama sejak Djokovic empat tahun lalu yang bangkit dari defisit dua set untuk mengklaim final Roland-Garros. Ia juga menjadi petenis kedua setelah Federer yang memenangi lima final Grand Slam pertamanya.
Gelar major kelimanya ia raih pada usia yang sama persis dengan Nadal saat ia memenangi jumlah yang sama, yakni 22 tahun, satu bulan, dan tiga hari.
Alcaraz dan Sinner tidak hanya mencatatkan sejarah. Dalam pertemuan ke-12 antara kedua pemain sepanjang karier, mereka menunjukkan sikap pantang menyerah, menciptakan suasana yang tak terlupakan dan menyisakan kenangan indah.
Lebih dari itu, duel tersebut mewujudkan persaingan sehat dan menjunjung tinggi sikap sportif -- tanpa ada kata kasar, protes keras ke wasit, maupun aksi banting raket yang sebelumnya kerap dijumpai pada pertarungan besar peringkat teratas dunia.
"Merupakan suatu keistimewaan untuk berbagi lapangan dengan Anda, di setiap turnamen, mengukir sejarah bersama Anda,” kata Alcaraz kepada Sinner.
"Selamat Carlos, penampilan yang luar biasa, pertarungan yang luar biasa, saya sangat senang untuk Anda dan Anda pantas mendapatkannya,” kata Sinner, sebelum menambahkan kepada timnya: "Kita telah berusaha sebaik mungkin hari ini, kita memberikan semua yang kita punya. Saya tidak akan tidur nyenyak malam ini, tetapi tidak apa-apa."
Setelah penampilan luar biasa itu Alcaraz kini unggul 9-2 dari Sinner.
Para penggemar tenis tentu berharap bahwa laga final Grand Slam super seru seperti itu bukan yang terakhir bagi mereka.