Jakarta (ANTARA) - Pemerintah AS per 2 April 2025 memberlakukan tarif impor dari berbagai negara yang masuk ke Negeri Paman Sam itu.
Indonesia pun terkena kebijakan Presiden AS Donald Trump itu, bahkan tarif impor barang yang masuk ke AS dari Indonesia dikenakan tarif sebesar 32 persen.
Presiden Trump pada Rabu (2/4/2025) mengumumkan kenaikan tarif perdagangan ke negara-negara yang selama ini menikmati surplus neraca perdagangan dengan AS.
Dari data Gedung Putih, Indonesia berada di urutan ke delapan di daftar negara-negara yang terkena kenaikan tarif AS, dengan besaran 32 persen.
Sekitar 60 negara bakal dikenai tarif timbal balik separuh dari tarif yang mereka berlakukan terhadap AS.
Indonesia bukan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara, yang menjadi sasaran kebijakan dagang AS itu.
Ada pula Malaysia, Kamboja, Vietnam serta Thailand dengan masing-masing kenaikan tarif 24 persen, 49 persen, 46 persen dan 36 persen.
Tarif-tarif yang telah lama disuarakan Trump itu diumumkan dalam acara "Make America Wealthy Again" di Rose Garden, Gedung Putih, Rabu waktu setempat.
Tarif universal era Trump dikabarkan akan mulai berlaku pada Sabtu (5/4/2025), sementara tarif timbal balik, yang menargetkan sekitar 60 mitra dagang AS, akan diberlakukan mulai Rabu (9/3/2025).
Kebijakan tersebut tentu saja mempengaruhi ekspor Indonesia lantaran tarif yang tinggi tersebut.
Berbagai antisipasi perlu dilakukan pemerintah atas pemberlakuan tarif tersebut.
Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Anggawira mengimbau pemerintah mempercepat perjanjian dagang dengan negara-negara Uni Eropa, Timur Tengah dan Afrika, untuk mendiversifikasi pasar ekspor sehingga dapat mengurangi ketergantungan ke Amerika Serikat.
Hal tersebut untuk merespons kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mengenakan tarif dasar dan bea masuk baru kepada banyak mitra dagang, termasuk Indonesia yang terkena tarif timbal balik sebesar 32 persen.
"Percepat perjanjian dagang dengan Uni Eropa, Timur Tengah, dan Afrika agar ketergantungan kepada AS berkurang," kata Anggawira saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Anggawira menyebut diversifikasi pasar ekspor dengan akselerasi perjanjian dagang adalah kebijakan yang perlu dipertimbangkan untuk jangka menengah.
Dalam jangka pendek, kata dia, pemerintah perlu meyakinkan pelaku pasar dengan komitmen untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan pasar, di antaranya dengan intervensi di pasar keuangan dan stimulus bagi dunia usaha terdampak.
Perluasan sasaran dagang, kata dia, juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP).
RCEP adalah blok perdagangan di Asia Pasifik yang melibatkan 15 negara dengan porsi sepertiga dari total ekonomi global.
"Mengoptimalkan pemanfaatan perjanjian RCEP untuk meningkatkan ekspor ke Asia-Pasifik," kata Anggawira.
Menurut dia, Pemerintah Indonesia perlu merespons cepat dan tepat kebijakan Trump yang disebut pemimpin negara adi daya itu sebagai "Hari Pembebasan".
Respons tepat dan cepat pemerintah akan memberi dampak nyata bagi pengusaha, katanya.
"Jika tidak ada langkah konkret, ketidakpastian ekonomi bisa semakin dalam dan berdampak negatif," lanjut dia.
Kebijakan tarif Trump dinilai sebagai pemicu tinggi tekanan ekonomi global yang berdampak signifikan terhadap dunia usaha.
Siapkan solusi
Anggota Komisi XI DPR RI Marwan Cik Asan mendorong pemerintah RI menyiapkan solusi untuk mengantisipasi potensi dampak yang ditimbulkan kebijakan tarif Presiden Trump.
"Kami mendorong pemerintah segera mengantisipasi dampak perang tarif ini, sekaligus mencarikan solusi-solusi mengantisipasi dampak perang tarif ini," kata Marwan.
Penerapan tarif ini berpotensi memengaruhi dinamika perdagangan internasional dan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap ekonomi Indonesia.
Kebijakan Trump ini menimbulkan kekhawatiran bagi ekonomi Indonesia karena dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah, harga emas, dan neraca perdagangan dengan AS.
Dia menilai berbagai produk ekspor utama Indonesia seperti mesin dan peralatan listrik, garmen, lemak dan minyak nabati, alas kaki, serta produk perikanan bisa mengalami penurunan daya saing akibat meningkatnya tarif impor di pasar AS.
Industri pengolahan juga banyak bergantung pada ekspor produk di atas. Industri tersebut menyerap sekitar 13,28 persen tenaga kerja Indonesia pada 2023, sehingga dampak dari kebijakan ini dapat dirasakan oleh jutaan pekerja di sektor tersebut.
Peningkatan tarif ini akan menyebabkan harga barang asal Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS, yang berpotensi mengurangi daya saing produk-produk tersebut.
Di sisi lain, Marwan mengungkapkan, riset yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan dampak kebijakan Trump terhadap Indonesia tidak sebesar dampak yang dirasakan oleh negara-negara Asia Pasifik lainnya seperti China, Jepang, dan Vietnam.
Badan Pusat Statistik mencatat bahwa Amerika Serikat mengalami defisit neraca perdagangan dengan Indonesia pada tahun 2023 dan 2024 berturut turut sebesar 11,97 miliar dolar AS dan 16,08 miliar dolar AS, yang masih lebih kecil dibandingkan dengan defisit yang dialami AS terhadap China, Jepang, dan Vietnam.
Meski dampak langsung terhadap Indonesia kemungkinan tidak sebesar negara lain, menurut Marwan, tetap ada potensi dampak tidak langsung yang juga perlu diwaspadai.
Jika ekspor dari negara-negara mitra dagang utama Indonesia seperti China dan Jepang ke AS menurun akibat kebijakan ini, maka permintaan mereka terhadap produk Indonesia juga dapat ikut menurun.
Hal ini berisiko menghambat pertumbuhan sektor industri dalam negeri yang bergantung pada rantai pasok global.
Marwan menyarankan pemerintah mengadopsi langkah-langkah strategis guna memitigasi dampak negatif dari kebijakan tarif timbal balik AS. Salah satunya, mendiversifikasi pasar ekspor, mengurangi ketergantungan pada AS dengan memperluas hubungan dagang dengan negara-negara lain.
Perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara potensial dapat menjadi salah satu solusi untuk mengamankan pasar alternatif bagi produk-produk ekspor Indonesia.
Selain itu, kebijakan insentif pajak dan subsidi dapat diberikan kepada industri-industri yang terkena dampak untuk meningkatkan daya saing dan menjaga stabilitas sektor manufaktur.
Di sektor keuangan, stabilitas nilai tukar rupiah juga perlu dijaga melalui kebijakan moneter yang adaptif.
Bank Indonesia dapat mengoptimalkan cadangan devisa dan menerapkan kebijakan intervensi pasar guna menghindari gejolak yang berlebihan.
Dalam forum bilateral, pemerintah Indonesia juga dapat bernegosiasi dengan AS untuk memperoleh pengecualian tarif bagi beberapa produk ekspor utama atau memperbarui program Generalized System of Preferences (GSP) guna mempertahankan akses istimewa ke pasar AS.
Marwan menambahkan risiko yang ditimbulkan dari kebijakan Trump ini masih dapat dikelola dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat meski membawa tantangan baru bagi ekonomi Indonesia.
Dengan pendekatan yang mencakup diversifikasi pasar, kebijakan fiskal dan moneter yang adaptif, serta diplomasi perdagangan yang proaktif.
"Saya yakin pemerintag dapat tetap menjaga stabilitas ekonomi dan mempertahankan pertumbuhan di tengah dinamika perdagangan global yang semakin kompleks," kata Marwan.
Baca juga: Indonesia pun kena kenaikan tarif AS
Baca juga: DPR dorong pemerintah antisipasi dampak tarif AS