Jakarta (ANTARA) - Transformasi pertanian merupakan proses perubahan yang bertujuan meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kualitas sektor pertanian di Indonesia.
Perubahan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari penggunaan teknologi modern, pengembangan varietas tanaman unggul, pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan, hingga peningkatan kapasitas petani dan penguatan pasar produk pertanian.
Dalam konteks kebijakan pertanian, tujuan transformasi ini meliputi peningkatan produktivitas, efisiensi, dan kualitas produk, serta peningkatan pendapatan petani dan ketahanan pangan.
Transformasi ini juga harus mampu menjawab tantangan perubahan iklim, yang kian nyata dengan semakin seringnya terjadi fenomena cuaca ekstrem seperti El Niño.
Pengalaman El Niño dua tahun lalu seharusnya menjadi momentum bagi para pemangku kebijakan untuk segera mendorong transformasi pertanian yang lebih adaptif dan tangguh.
Sayangnya, respons bangsa ini terhadap dampak El Niño banyak yang berpendapat masih jauh dari optimal.
Pertanyaan besar pun muncul, mengapa bangsa ini seperti tak berdaya menghadapi fenomena yang sebenarnya bukan hal baru? Mengapa langkah antisipatif terkesan minim, hingga kondisi darurat beras tak terhindarkan?
Penurunan produksi beras nasional semakin terlihat dalam angka yang dirilis BPS. Pada 2024, produksi beras tercatat sebesar 30,41 juta ton, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 31,10 juta ton.
Selisih sekitar 700 ribu ton ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengantisipasi dampak El Niño secara efektif.
Harga pangan dunia yang fluktuatif dan kebijakan proteksionisme dari negara-negara produsen beras dapat semakin memperburuk situasi jika Indonesia tidak memiliki strategi mandiri untuk meningkatkan ketahanan pangan.
Dalam jangka panjang, ketidakmampuan sektor pertanian untuk beradaptasi dengan perubahan iklim juga akan berdampak pada kesejahteraan petani. Saat produksi menurun, harga pupuk naik, dan distribusi tidak efisien, petani semakin terhimpit dan kehilangan daya saing.
Transformasi pertanian bukan hanya soal teknologi atau modernisasi alat produksi, tetapi juga soal keberpihakan pada petani kecil yang selama ini menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional.
Praktik agroforestry yang menggabungkan pertanian dengan kehutanan harus mulai dikembangkan lebih luas sebagai solusi untuk menjaga keseimbangan ekologi sekaligus meningkatkan produktivitas lahan.
Peningkatan kapasitas petani melalui pelatihan, pendampingan, serta akses terhadap informasi dan teknologi harus menjadi prioritas dalam kebijakan pertanian ke depan.
Di era digital, pemanfaatan teknologi informasi dalam sektor pertanian menjadi keharusan. Teknologi digital dapat meningkatkan efisiensi produksi, distribusi, hingga pemasaran produk pertanian.
Kerja sama antara pemerintah, petani, dan pemangku kepentingan lainnya juga harus diperkuat agar kebijakan yang diterapkan benar-benar berdampak positif bagi sektor pertanian secara luas.
Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi negara agraris yang kuat, tetapi tanpa strategi yang tepat dan kebijakan yang berpihak pada petani serta riset pertanian yang maju, negara ini akan terus menghadapi krisis pangan yang berulang.
Semoga ini menjadi refleksi bersama demi masa depan pertanian yang lebih tangguh dan berkelanjutan.
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.
Baca juga: Menteri Pertanian dorong transmigran transformasi pertanian