Jakarta (Antara Megapolitan) - Mahesh Lalmani, pemilik Toko Karpet Serba Indah di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan, tak menyangka akan dikunjungi orang nomor satu di Provinsi DKI Jakarta.
Sebenarnya, ia pernah pergi ke Balai Kota pada masa Gubernur sebelumnya untuk menyelesaikan sengketa tanah yang akan dijadikan stasiun MRT (mass rapid transit) di kawasan Haji Nawi.
Tapi, tak ada yang mau menemuinya waktu itu, sehingga sengketa berujung ke proses peradilan.
Kunjungan Gubernur Anies Rasyid Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Shalahuddin Uno pada Jumat (20/10/2017) sore membuka momentum untuk curhat (curahan hati).
Mahesh merasa tak terpisahkan dengan tanah Jakarta, karena orang tuanya sudah tinggal di Jakarta sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.
Tapi, ia rela melepas hak atas tanahnya demi membangun wajah baru Ibu Kota RI yang sangat membutuhkan moda transportasi massal.
Setelah berdialog beberapa menit, Mahesh mempersilakan Anies untuk membongkar tokonya saat itu juga.
"Jadi boleh nih ya dieksekusi?" tanya Anies.
"Boleh, bongkar sekarang juga boleh, Pak. Sekarang saya ajak Bapak,
saya lebih senang," jawab Mahesh.
Keduanya kompak mengangkat martil dan memukulkannya ke pagar toko sebagai tanda proses pembongkaran dapat dimulai, meskipun peradilan tempat berjalan.
Wagub Sandiaga Uno memeluk Mahesh sambil berbisik, "You are hero of the month!". Artinya adalah anda adalah sosok pahlawan.
Lain lagi, pengalaman Warsiti (62), warga Bukit Duri, Jakarta Selatan yang datang ke Balai Kota untuk menemui Anies pada 27 Oktober 2017.
Ia bersama 92 warga dari tiga Rukun Warga (RW) baru saja memenangkan gugatan perwakilan kelompok (class action) atas Pemprov DKI Jakarta yang melakukan penggusuran pada 12 Januari 2017 demi proyek
normalisasi Sungai Ciliwung.
Saat itu, 440 rumah warga diratakan dengan tanah tanpa melalui proses musyawarah, karena Gubernur lama hanya memberikan surat peringatan pertama dan kedua tanggal 18 dan 28 Desember 2016.
Majelis Hakim PN Jakarta Pusat menilai tindakan itu menyalahi hak-hak para penggugat dan tidak mengindahkan UUD NRI 1945 serta UU terkait, sehingga menimbulkan kerugian bagi warga.
Warsiti dan warga Bukit Duri yang ditemani penasihat hukumnya berharap dapat terpenuhi hak-haknya, karena sudah satu tahun hidup terkatung-katung, setelah rumahnya digusur aparat Pemprov.
Yang membuat antusias warga adalah penegasan Anies, bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak akan menempuh banding atas gugatan warga, tapi membuka ruang musyawarah agar tercapai solusi bersama.
Dua peristiwa itu menandai pola kepemimpinan baru di Pemprov DKI Jakarta. Bukan sekadar gaya komunikasi dan pendekatan personal, namun proses pelaksanaan kebijakan yang membuka ruang dialog dan menghormati
hak partisipasi warga dalam pembangunan kota.
Gubernur Anies dan Wagub Sandi memberikan arahan kapada seluruh jajaran Pemprov DKI Jakarta untuk mengubah cara pandang dan sikap tentang pembangunan kota dalam rapat perdana di Balai Kota DKI
Jakarta, 23 Oktober 2017.
Dalam rapat yang dihadiri pejabat eselon itu, Anies menjelaskan empat tingkat evolusi kota yang perlu dipahami aparat Pemprov, yaitu: City 1.0 di mana pemerintah bertindak sebagai administrator dan warga
sebagai penghuni.
City 2.0 di mana pemerintah sebagai penyedia jasa dan warga sebagai konsumen; City 3.0 di mana pemerintah sebagai fasilitator dan arga sebagai partisipan, serta City 4.0 dimana pemerintah sebagai
kolaborator dan warga sebagai kreator.
Anies menegaskan Pemprov DKI Jakarta harus naik kelas mencapai tahap City 4.0, agar unggul dibanding provinsi lain di Indonesia dan mampu bersaing dengan kota-kota besar di dunia.
Untuk itu, segenap jajaran Pemprov harus memiliki cara pandang dan sikap baru dalam pengelolaan kota (city management).
Arahan Anies sejalan dengan pandangan Marcus Foth dan Mirko Guaralda dalam situs The Conversation (1/5/2017) yang pada intinya menyatakan pembangunan kota generasi baru harus melibatkan partisipasi warga
secara total.
Selama ini pemerintah biasa mengundang warga sebagai partisipan dalam proses perencanaan kota.
Namun, kenyataannya mengapa hanya sedikit warga yang memberikan masukan balik sebagai bagian dari proses konsultasi yang konvensional? Karena warga merasa aspirasinya hanya ditampung, tapi
belum tentu dilaksanakan.
Kebijakan "placemaking" (pembentukan ruang) kota yang konsisten harus memposisikan warga sebagai ko-kreator (pembangun bersama) dalam pembentukan kota yang bersifat kolaboratif.
Manajemen Kota 4.0 menempatkan pemerintah sebagai kolaborator, bukan lagi sekadar administrator, penyedia jasa, atau fasilitator sebagaimana konsep-konsep sebelumnya.
Warga kota diposisikan sebagai ko-kreator (pembangun bersama), bukan hanya penghuni di suatu kampung, konsumen atas berbagai pelayanan publik, atau partisipan dalam pembuatan kebijakan.
Dalam Manajemen Kota 4.0, warga dilibatkan sejak proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan kota, tentu saja dengan memperhatikan koridor hukum yang berlaku. Warga menjadi pemegang saham utama pembangunan kota.
Pemaparan gagasan, ruang dan komunitas yang beragam adalah krusial bagi inovasi pembangunan kota dan efektivitas demokrasi. Kebijakan baru dalam penataan kota (City 4.0) dipercaya menciptakan komunikasi
yang lebih baik antara warga, komunitas, aparat pemerintah, kelompok bisnis, kelompok masyarakat sipil dan organisasi non-profit.
Penataan kota generasi baru (City 4.0) dipahami memberikan koneksi lebih dekat antara warga dengan daerah tempat tinggalnya, sehingga warga merasa memiliki kampung atau gedung (rumah susun) tempat
tinggalnya, serta siap untuk merawat dan membangun tempat tinggal itu.
Pembentukan ruang kota harus bersifat unik dan spesifik, dengan mempertimbangkan komunitas, lingkungan, tradisi, makanan, sumber daya dan praktik sosialnya.
Lebih jauh lagi, kebijakan pembangunan kota harus mampu menjawab tantangan perubahan iklim, sehingga menyediakan kesempatan untuk model pembangunan yang lestari.
Tidak hanya menciptakan aksesibilitas, lingkungan sehat, kondisi demokratis dan pembangunan patisipatif, namun juga menawarkan kota post-anthropocentric.
Itulah kota yang bersahabat dengan lingkungan dan memikirkan kepentingan generasi masa datang.
Gubernur Anies dan Wagub Sandi telah berupaya meletakkan fondasi baru dalam pembangunan kota/provinsi Jakarta, yang semoga menjadi barometer bagi pembangunan kota dan provinsi di Indonesia.
Warga yang menginginkan hidup bahagia di tengah kemajuan kota tentu mendukung kepemimpinan yang mengayomi semua orang, baik pedagang karpet maupun pedagang kaki lima, baik penghuni apartemen mewah maupun
rumah susun sewa.
*) Penulis adalah Direktur Center for Indonesian Reform (CIR).
Gubernur 4.0
Kamis, 2 November 2017 16:37 WIB
Boleh, bongkar sekarang juga boleh, Pak. Sekarang saya ajak Bapak,
saya lebih senang.