Depok (ANTARA) - Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Indonesia (UI) Prof Lilies Dwi Sulistyani mengkaji peran teknologi 3D yang telah berkembang pesat di dunia kedokteran, termasuk di bidang bedah mulut.
"Teknologi 3D mampu mengatasi keterbatasan pencitraan 2D karena memberikan detail struktur yang kompleks dari kondisi mulut dan wajah. Teknologi 3D berperan penting untuk diagnosis, perencanaan, dan pelaksanaan prosedur bedah," ucapnya di Depok, Jawa Barat, Rabu.
Komponen utama yang mendukung teknologi 3D dalam bedah mulut dan maksilofasial adalah pencitraan 3D (3D imaging), perangkat lunak (software) perencanaan virtual, dan pencetakan 3D (3D printing).
Baca juga: Guru besar UI: Indonesia miliki potensi pengembangan komposit hijau
Teknologi pencitraan 3D, seperti Cone Beam Computed Tomography (CBCT), kata dia, dapat memvisualisasikan struktur kompleks di kepala, leher, dan rahang, serta menghasilkan gambar tiga dimensi yang sangat detail dengan dosis radiasi lebih rendah dibandingkan CT scan konvensional.
Prof Lilies menyebut pencetakan 3D dilakukan untuk menciptakan model fisik 3D yang presisi untuk membantu dokter memahami anatomi unik pasien. Kemudian perangkat lunak perencanaan virtual berbasis 3D memungkinkan dokter untuk merancang prosedur dengan lebih akurat sebelum operasi dilakukan.
“Sebagai contoh, dalam rekonstruksi rahang, teknologi 3D digunakan untuk membuat desain dan membuat implan titanium custom untuk mengganti bagian tulang rahang yang hilang akibat trauma, tumor, atau kondisi patologis lain,” ujarnya.
Baca juga: Guru Besar UI: Perkembangan kemajuan teknologi beri solusi kebutuhan masyarakat
Pemanfaatan teknologi 3D dalam bidang bedah mulut memberikan banyak manfaat, baik dalam aspek diagnostik, perencanaan, hingga pelaksanaan prosedur bedah.
Teknologi, seperti CBCT sebagai pilihan lain dari CT-Scan ataupun MRI di bagian kepala dan leher, pencetakan model 3D, dan penggunaan perangkat lunak perencanaan virtual terbukti mampu meningkatkan keakuratan dalam diagnosis dan perencanaan operasi, serta mempercepat proses pemulihan pasien.
Meski demikian penggunaan teknologi 3D di Indonesia, kata dia, masih menghadapi banyak tantangan. Keterbatasan infrastruktur teknologi kesehatan memerlukan investasi besar.
Penggunaan teknologi 3D dalam bedah mulut dan maksilofasial, seperti pencetakan implan individu (custom) atau penggunaan panduan bedah 3D, juga membutuhkan biaya yang tinggi.
Baca juga: Guru Besar UI kaji interseksionalitas hubungan internasional
Selain itu memprioritaskan investasi dalam teknologi 3D lebih sulit jika dibandingkan dengan kebutuhan dasar lainnya, seperti peralatan bedah konvensional dan obat-obatan. Oleh karena itu untuk memaksimalkan potensi teknologi 3D, Prof Lilies menyebut perlu adanya integrasi dalam pendidikan kedokteran gigi, khususnya di tingkat universitas.
Pengajaran dan pelatihan teknologi 3D dimasukkan dalam kurikulum untuk memastikan tenaga medis siap menghadapi tantangan teknologi canggih ini. Kolaborasi antara akademisi, praktisi, dan penyedia teknologi juga penting untuk menciptakan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan modern.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah perlu berkolaborasi dengan sektor swasta untuk memperluas akses teknologi 3D dengan memberikan subsidi atau hibah untuk rumah sakit di daerah terpencil.