Jakarta (ANTARA) - Apakah kemiskinan dapat diwariskan? Pertanyaan ini tiba-tiba terlintas ketika menelusuri gang-gang sempit di salah satu permukiman kumuh di pinggiran Kota Jakarta.
Letak rumah-rumah penduduk yang saling berdempetan, ditambah dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi menjadi permasalahan yang belum terselesaikan hingga hari ini.
Selain itu, karakteristik pendidikan masyarakatnya mayoritas hanya sekolah dasar (SD) ke bawah dengan penghasilan yang tak menentu dari kerja serabutan. Banyak contoh kasus, seseorang yang menghidupi keluarganya dari kerja serabutan, anak-anaknya tidak meneruskan pendidikan dasar karena membantu orang tuanya bekerja.
Hal ini menjadi fenomena yang menarik untuk direnungkan. Pemerintah telah memberikan pendidikan gratis untuk seluruh siswa hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 2, yang menyatakan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Pemerintah pusat sendiri telah mengalokasikan anggaran pendidikan hingga Rp724,26 triliun dari total APBN Tahun 2025 sebesar Rp3.621,3 triliun atau sekitar 20 persen sebagai upaya mewujudkan sumber daya manusia yang unggul, inovatif, dan berdaya saing menuju Indonesia Emas 2045.
Selain itu, diharapkan dengan pendidikan yang lebih tinggi, masyarakat dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik.
Namun pada kenyataannya, masyarakat miskin justru menghindari pendidikan, lantas ada apa?
Sebelum mencari tahu hal tersebut, kita perlu memahami siapa masyarakat miskin ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah menghitung angka kemiskinan makro sejak tahun 1976. Lewat Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), BPS mengukur kemiskinan dengan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach).
Si miskin adalah ia yang memiliki pengeluaran per kapita di bawah Garis Kemiskinan (GK) baik pengeluaran makanan yang setara dengan 2100 kilo kalori maupun non-makanan. Singkatnya, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Garis kemiskinan dihitung dari pengeluaran perkapita per bulan hasil Susenas yang dilaksanakan setiap Maret dan September di seluruh Indonesia dari level nasional hingga level kabupaten/kota.
Dengan demikian, GK setiap wilayah berbeda-beda dan berubah-ubah setiap waktu bergantung pada beberapa faktor seperti kondisi geografis, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan sosial budaya.
Saat ini, garis kemiskinan Jakarta sebesar Rp846.085,-/perkapita/perbulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan (GKM) sebesar Rp590.704,-/perkapita/bulan (69,82 persen) dan Garis Miskinan Non-Makanan sebesar Rp255.381/kapita/bulan (30,18 persen). Dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin sebesar 5,01 orang, artinya jumlah rata-rata pengeluaran yang harus dikeluarkan rumah tangga miskin untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum mencapai Rp4.238.886/rumah tangga miskin/bulan.
Kemiskinan telah ada bersama kita sejak zaman dahulu. Menurut Francis A. Cizon kemiskinan saat ini berbeda dengan kemiskinan di masa lampau.
Saat ini, terdapat orang miskin yang berada di tengah-tengah orang kaya, bahkan di Tengah Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang kian meningkat, menurunnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan kondisi ekonomi yang relatif stabil.
Pertumbuhan ekonomi Jakarta triwulan III tahun 2024 menunjukkan kinerja yang positif yaitu 4,93 persen, sedangkan TPT sebesar 6,21 persen menurun dari tahun sebelumnya. Selain itu, jumlah sekolah negeri dengan biaya pendidikan gratis meningkat namun tidak semua anak muda memanfaatkannya.
BPS mencatat pada semester II tahun 2024 persentase penduduk miskin di DKI Jakarta sebesar 4,14 persen menurun 0,16 persen poin dibandingkan semester sebelumnya. Jika dilihat dari angka absolutnya, jumlah penduduk miskin di Jakarta sebesar 449,07 ribu orang menurun 15,86 ribu orang terhadap Maret 2024.
*) Annisa Nur Fadhilah adalah Statistisi di BPS Provinsi DKI Jakarta
Baca juga: Di balik penurunan angka kemiskinan
Baca juga: Angka kemiskinan Kota Depok terendah se Jabar pada 2024