Jakarta (ANTARA) - Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk terbesar di Asia Tenggara terus menghadapi tantangan serius dalam menjamin ketahanan pangan, baik dalam hal ketersediaan, akses, maupun kestabilan harga pangan.
Ketergantungan terhadap impor pangan, terutama beras, jagung, dan kedelai, membuat Indonesia rentan terhadap gejolak pasar internasional.
Program Food Estate merupakan salah satu kebijakan penting yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan, terutama di tengah tantangan global dan domestik yang kian kompleks.
Berdasarkan laporan FAO (Food and Agriculture Organization) tahun 2023, dunia menghadapi tekanan besar terhadap sistem pangan global, dengan peningkatan populasi dan perubahan iklim yang memengaruhi hasil pertanian.
Proyek Food Estate di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengatasi ketahanan pangan melalui peningkatan produksi lokal yang lebih efisien. Di tingkat global, riset menunjukkan bahwa penerapan teknologi pertanian dapat meningkatkan hasil pertanian hingga 30 persen hingga 40 persen dalam lima tahun (World Bank, 2023).
Pengembangan Food Estate mengacu pada pengembangan kawasan pertanian terpadu yang melibatkan berbagai elemen, seperti infrastruktur, teknologi pertanian, dan pengelolaan lahan yang efisien.
Menurut World Bank (2023), konsep ini berfokus pada peningkatan produktivitas pertanian untuk mencapai ketahanan pangan jangka panjang, namun tetap memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan.
Implementasi kebijakan penerapan Food Estate dapat dilihat melalui dua perspektif utama, yakni dari sisi teknologi dan sistem agribisnis. Kedua aspek ini saling mendukung dalam menciptakan sistem pertanian yang efisien, produktif, dan dapat diandalkan dalam jangka panjang. Berikut penjelasan lebih mendalam mengenai penerapan teknologi dan sistem agribisnis dalam implementasi Food Estate.
Penerapan teknologi dalam Food Estate bertujuan untuk meningkatkan efisiensi produksi dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam. Teknologi yang digunakan dalam proyek ini berfokus pada beberapa bidang utama yang sangat berpengaruh terhadap hasil pertanian, yaitu pertanian presisi, genetika tanaman dan teknologi, big data dan analisis, sistem informasi dan platform digital.
Sistem agribisnis mencakup seluruh kegiatan yang terlibat dalam rantai nilai pertanian, dari produksi hingga distribusi produk pangan. Dalam konteks Food Estate, sistem agribisnis dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam setiap tahapan, termasuk produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil pertanian.
Pemberdayaan petani melalui kemitraan dan pembiayaan juga penting dalam pelaksanaan Food Estate. Pembangunan sistem agribisnis dalam Food Estate tidak hanya melibatkan teknologi dan pasar, tetapi juga pemberdayaan petani. Petani diberdayakan melalui pelatihan dan peningkatan kapasitas dalam mengelola pertanian secara modern.
Selain itu, pembiayaan juga menjadi aspek penting, di mana petani diberikan akses ke modal untuk membeli teknologi dan alat pertanian. Peran pemerintah dan sektor swasta dalam penyediaan kredit mikro atau bantuan subsidi sangat penting untuk memastikan bahwa petani dapat mengakses sumber daya yang dibutuhkan untuk bertransformasi menjadi petani yang lebih produktif.
Solusi untuk tantangan ini, termasuk peningkatan program pelatihan dan pendampingan kepada petani, penyediaan infrastruktur yang lebih baik, serta kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan lembaga pendidikan untuk mempercepat adopsi teknologi.
Program Food Estate di Indonesia merupakan bagian dari kebijakan jangka panjang yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan. Pemerintah Indonesia mengalokasikan anggaran besar untuk mendanai pembangunan infrastruktur, serta subsidi untuk teknologi pertanian. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada koordinasi antara berbagai sektor dan pihak terkait.
*) Dr. M. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi