Jakarta (ANTARA) - Pemerintah memprioritaskan program swasembada pangan sebagai dasar kedaulatan bangsa yang tertuang dalam Agenda Pembangunan Nasional 2025-2029.
Presiden Prabowo menegaskan swasembada pangan merupakan fondasi perlindungan fisik bagi rakyat. Tanpa pangan yang cukup, negara tidak dapat menjamin keberlangsungan kehidupan.
Swasembada pangan bagi kesejahteraan masyarakat dikelola dengan melibatkan masyarakat serta mengutamakan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni elah mengidentifikasi seluas 20 juta hektare hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan cadangan pangan, energi dan air.
Kementerian memproyeksi seluas 1,1 juta hektare lahan yang bisa dimanfaatkan itu menghasilkan hingga 3,5 juta ton beras per tahun atau setara dengan total impor beras Indonesia pada 2023. Selain padi, pemerintah juga berencana menanam pohon aren sebagai sumber bioetanol.
Satu hektare aren mampu menghasilkan 24 ribu kiloliter bioetanol. Jika kita menanam 1,5 juta hektare aren, kita bisa menghasilkan 24 juta kiloliter bioetanol yang dapat menggantikan impor BBM sebesar 26 juta kiloliter.
Dengan konsep tersebut diharapkan bisa mendukung ketahanan pangan nasional dengan perluasan wilayah food estate hingga mencakup ke wilayah desa. Kementerian Kehutanan memiliki peran strategis dalam penyediaan lahan untuk program swasembada pangan.
Melihat lebih jauh soal rencana pemanfaatan lahan hutan sebagai cadangan pangan, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan rencana perluasan lahan kelapa sawit, pemanfaatan hutan sebagai cadangan pangan oleh pemerintah harus memerhatikan keberlanjutan serta kelestarian lingkungan.
Ekstensifikasi perkebunan kelapa sawit dan cadangan pangan tidak selalu mengakibatkan deforestasi atau memicu kerusakan lingkungan, apabila dilakukan dengan perencanaan yang baik dan strategi yang tepat.
Ekstensifikasi perkebunan kelapa sawit dan hutan cadangan pangan tidak menyebabkan deforestasi jika dilakukan di kawasan hutan yang tidak berhutan atau areal penggunaan lain (APL). Hal ini berdasarkan hasil evaluasi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2024, karena tidak semua kawasan hutan secara fisik berhutan.
Terdapat 29 juta hektare kawasan hutan yang tidak berhutan, dengan lokasi yang menyebar dan kondisi lapangan beragam, dan di antara kawasan hutan yang tidak berhutan tersebut ada yang berupa permukiman, kebun, sawah, maupun lahan telantar dan terdegradasi.
Di kawasan hutan produksi, lahan terdegradasi harus segera direhabilitasi dengan pohon dan tanaman komersial, termasuk kelapa sawit dan tanaman pangan, dengan agroforestri pola tertentu melalui skema multiusaha kehutanan, sehingga produktivitas hutan meningkat dan luasan tutupan hutan juga akan meningkat.
Artinya, penanaman sawit dan tanaman pangan dengan pola agroforestri di kawasan hutan produksi yang terdegradasi justru berpotensi menghadirkan penghutanan kembali atau reforestasi, bukan konversi hutan atau deforestasi. Sementara lahan terdegradasi di kawasan hutan lindung dan konservasi harus direhabilitasi dengan pohon dan tanaman lain yang tidak mengakibatkan perubahan fungsi pokok kawasan.
Bila hutan-hutan yang itu berstatus hutan lindung, maka mengalihfungsikan untuk kebutuhan pangan dan lainnya dapat mengancam keberlangsungan ekosistem, sebab hutan lindung menjadi penjaga keseimbangan lingkungan, penyedia oksigen, pengatur tata air, serta habitat keanekaragaman hayati yang tinggi, mengurangi biodiversitas dan merusak habitat flora dan fauna yang menjadi ciri khas ekosistem tersebut.
Pengalihfungsian hutan untuk pertanian intensif juga sering kali merusak struktur tanah, mengurangi kesuburannya dan meningkatkan risiko erosi, terutama di wilayah berbukit atau berlereng curam.
Baca juga: IPB: Perluasan sawit lewat hutan negara bukan deforestasi