Jakarta (ANTARA) - Azhari (57 tahun) memulai karirnya di Kantor Berita Antara pada 1997 sebagai pembantu koresponden di Aceh.
Selama berkarir sebagai insan pers, pria kelahiran Banda Aceh itu harus menunaikan pekerjaan di tengah dua peristiwa besar nan memilukan di kampung halamannya yakni konflik Aceh dan tsunami.
Ia pun membuat mengalaman profesi jurnalistiknya ke dalam buku karyanya berjudul "Terlahir sebagai Jurnalis Antara" (dicetak UMSU Press, 2015) .
"Saya ingin membagikan pengalaman itu. Selain menjadi warisan untuk keluarga," ujar Azhari yang kini Kepala Biro Antara Sumatera Utara di Medan.
Buku setebal 101 halaman itu diluncurkan pada Sabtu, 4 Januari 2025 di Banda Aceh.
Isi bukunya menangkap berbagai momentum penting yang menunjukkan bahwa penulisnya memiliki satu hal ini: dedikasi. Dedikasi terhadap NKRI, terhadap tempatnya bekerja, dan terhadap profesi.
Misalnya, Azhari mengisahkan bagaimana dirinya langsung berangkat begitu pimpinannya di Perum LKBN ANTARA Biro Aceh menugaskan ke Lhokseumawe, salah satu titik panas pertempuran antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI di Aceh pada tahun 1999.
"...di wilayah pantai timur Aceh, mulai dari Pidie, Bireuen, Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sampai Aceh Timur, hampir setiap hari ditemukan jasad manusia yang tewas dengan luka tembak, dibacok dan dianiaya, yang sebelumnya dinyatakan hilang", tulis Azhari menggambarkan keadaan yang dia lihat dalam penugasan kala itu.
Sebelum berangkat ke medan penugasan, dia meminta restu kepada kedua orangtuanya, yang membalasnya dengan doa.
Azhari menekankan bahwa konflik hanya akan menimbulkan banyak kerugian. Basis itulah yang menjadi landasan Azhari dalam menghasilkan karya selama konflik Aceh.
Sebelum konflik Aceh sukses diredam, tepatnya pada pagi hari 26 Desember 2004, terjadi gempa besar di provinsi tersebut.
Azhari panik, tetapi tidak hilang fokus. Pertama kali, dia memikirkan keadaan keluarganya. Setelah itu, dia langsung konsentrasi untuk membuat berita. Azhari bahkan sempat mengambil beberapa foto dan menelepon ke kantor pusat di Jakarta untuk melaporkan kejadian gempa besar di Aceh.
Namun, sebelum menyelesaikan teleponnya dengan salah satu redaktur di Jakarta, Azhari bersama istri dan anak pertamanya, Fadhil, berlari ke luar rumah karena gempa nyaris merobohkan kediaman mereka.
Dia mengambil keputusan cepat untuk menyelamatkan sang istri, yang sedang mengandung anak kedua, dan putranya, dengan membawa mereka ke tempat aman dengan mobil.
Azhari melukiskan momen tersebut seperti "kiamat". Gempa mengakibatkan air laut meninggi. Orang-orang minta tolong, berlarian ke sana ke mari demi menyelamatkan diri. Tsunami tiba.
Hasrat jurnalistiknya semakin menggebu begitu menyaksikan korban bergelimpangan di jalanan. Bangunan hancur di mana-mana. Azhari tahu, situasi tersebut mesti dikabarkan secepatnya ke seluruh Indonesia.
Sayangnya, keinginan tersebut tertunda lantaran Azhari terkurung dalam duka. Ayah dan ibunya, beserta abang dan dua adiknya, serta 12 anggota keluarganya yang lain meninggal dunia akibat tsunami.
Awan gelap yang menaungi Azhari membuatnya gundah, tetapi lagi-lagi tidak menghilangkan dedikasinya sebagai jurnalis.
Azhari pun meminjamkan rumahnya di Banda Aceh untuk menjadi kantor darurat Antara. Setelah kantor dadakan itu beroperasi, Azhari pun melakukan kembali tugasnya sebagai wartawan yakni mencari berita.
Untaian cerita Azhari dalam bukunya tertuang dengan detail. Dari sana, pembaca tidak hanya mengetahui gejolak dirinya sebagai jurnalis, tetapi juga situasi yang terjadi saat itu.
Dedikasi dalam bekerja untuk Antara membuat karir Azhari dipercaya menjadi Kepala Biro Jambi (2015-2016), Sumatera Barat (2016-2018), Aceh (2018-2022), Sekretaris Perusahaan (2023), dan Kepala Biro Sumatera Utara (2024-sekarang).
Buku Terlahir Sebagai Jurnalis Antara memperkaya khasanah jurnalistik di Indonesia dan layak diambil sisi-sisi baiknya oleh wartawan muda atau yang ingin berkarir sebagai jurnalis.
Mungkin terlalu cepat dalam mempersiapkan buku ini, atau tidak adanya catatan-catatan pribadi dari setiap momentum yang dialami Azhari, sejumlah peristiwa tidak tergarap secara mendalam. Ini menjadi salah satu kekurangan yang perlu dilengkapi dalam buku ini bila akan diterbitkan pada cetakan kedua.
Baca juga: Resensi buku - Awali dengan senyum, dunia pun dalam genggaman
Baca juga: "The Female Brain" teka-teki otak perempuan terungkap
Baca juga: Resensi - Assalamualaikum Calon Imam, Perjalanan Cinta Seorang Muslimah