Bogor (Antara Megapolitan) - Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto memaparkan enam permasalahan di seputar Stasiun Besar Bogor yang apabila tidak dilakukan intervensi dalam waktu tiga tahun ke depan akan menyebabkan kemacetan yang sangat parah.
"Kalau kondisi eksisting tidak melakukan apa-apa, tidak diintervensi, wali kota berganti sampai tahun 2020 tidak ada apa-apa, maka lokasi di situ (stasiun) akan mengerikan sekali, akan "stuck". Orang tidak bisa bergerak, mobil tidak bisa bergerak," kata Bima, di Bogor, Kamis.
Bima mengungkapkan permasalahan di Stasiun Besar Bogor yang pertama adalah menjadi pusat kemacetan, PKL yang semrawut, akses stasiun yang sangat terbatas dan dikeluhkan banyak orang.
"Sampai sekarang banyak ibu-ibu hamil dan lansia yang mengeluh betapa terjalnya jembatan penyemberangan ke stasiun dan akses yang memutar," kata Bima.
Persoalan berikutnya, tempat sarana, prasarana transportasi yang jauh dari nyaman, pedestrian yang tidak layak, perparkiran yang semrawut, serta Pasar Anyar yang perkembangannya cenderung bisa menjadi tidak terkendali.
"Itu persoalan," kata Bima.
Lebih lanjut ia mengatakan dilakukan berbagai macam kajian dan perencanaan. Tapi intinya ada skenario tidak berbuat apa-apa dan ada skenario berbuat sesuatu.
"Kalau tidak diapa-apakan, tidak ada pembangunan, aktivitas orang akan stuck," kata Bima.
Di tengah persoalan tersebut, pemerintah pusat lanjut Bima, merencanakan berbagai macam kegiatan yang tidak bisa dihindari oleh Pemkot Bogor dan tidak bisa pula ditolak.
Rencana kegiatan tersebut yakni pembangunan "double track" ke Sukabumi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersama PT KAI untuk menjawab kebutuhan warga Jawa Barat ke Sukabumi, Cianjur dan Bandung.
"Kata kuncinya adalah akselerasi dan kolaborasi, tidak mungkin menghindar, didiamkanpun akan stuck, sementara pemerintah pusat akan masuk membangun "double track" dan sebagainya (TOD)," kata Bima.
Bima menyebutkan pembangunan yang akan dilakukan di Stasiun Bogor dan Paledang harus dilakukan dengan berbagai catatan yakni melalui kajian yang matang terkait Amdal baik lingkungan maupun lalu lintasnya.
Mengantisipasi daya dukung lingkungan dan kebutuhan yang ada di seputar stasiun, mengetahui kebutuhannya seperti apa.
"Dan catatan inilah yang kemudian saya sampaikan ke Bu Rini (Menteri BUMN), saya sampaikan pereoalannya begini, program PT KAI hanya akan bisa berjalan kalau begini," kata Bima.
Bima mengatakan syarat yang ia ajukan kepada Menteri BUMN terkait pembangunan kawasan hunian terintegrasi dengan transportasi atau berbasis "transit oriented development" (TOD) di Stasiun Bogor dan Stasiun Paledang, pertama harus sesuai dengan perencanaan tata ruang di Kota Bogor.
Kedua, sesuai dengan konsep penataan di sekitar stasiun yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor. Ketiga, pemerintah pusat harus membantu untuk membangun beberapa sarana pendukung.
Beberapa sarana pendukung yang dimaksudkan adalah "underpass", "fly over", mempercepat BRT, konversi angkot menjadi Transpakuan, tempat parkir dan sebagainya.
Bima menyebutkan persyaratan tersebut yang disampaikannya pada saat melakukan penandatangan MoU antara dirinya dengan Direktur Utama KAI Edi Sukmoro, dan Direktur Utama Waskita Realty, Tukijo, yang disaksikan Menteri BUMN Rini Soemarno, Menhub Budi Karya Sumadi, Dirut Waskita Karya M Choliq, di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (11/9) lalu.
"Jadi itu yang kami (Pemkot) sampaikan saat lakukan tanda tangan kesepakan bersama, dibentuk tim dilakukan kajian supaya ada akselerasi disitu," katanya.
Bima menegaskan Pemkot Bogor tidak serta merta, mentah-mentah menyetujui rencana pembangunan hunian yang katanya terdiri dari bangunan 24 lantai, pembangunan tersebut harus dikaji terlebih dahulu, konsekwensinya seperti apa, dan pembicara yang berkembang disepakati untuk dilakukan kolaborasi dengan berbagai pihak dalam rangka mempercepat pembangunan itu.
"Saya sampaikan ke bu Rini (Menteri BUMN), ini pemerintah pusat harus memantu akselerasi konversi dan rerouting angkot jadi Transpakuan terutama di koridor dua dan tiga," kata Bima.
Pada pembicaraan itu lanjut Bima, Menteri BUMN Rini mengusulkan kalau Kementerian BUMN akan membantu percepatan skema konversi dengan memberikan kemudahan kepada badan hukum, operator atau calon operator yang akan menjalankan koridor dua dan tiga untuk kemudahan pengadaan armada bus, melalui perbankan BUMN.
"Jadi kemudian dipercepat koridor dua dan tiga itu, dipercepat konversinya, dengan adanya intervensi dari BUMN. Ini contoh syarat-syarat yang kita berikan untuk terjadinya pembangunan disitu (seputar stasiun)," kata Bima.
Bima kembali menegaskan sampai saat ini proses penataan kawasan seputar stasiun menjadi TOD masih berjalan, belum ada IMB yang dikeluarkan, yang pada prinsipnya Pemkot Bogor harus memulai proses tersebut dengan kajian yang kuat.
Bima menambahkan Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) sudah melakukan pertemuan, begitu juga TP4 juga sudah, dan lintas OPD juga sudah, menyampaikan hasil pembahasan tim pembangunan daerah, guna memastikan pembangunan TOD di Stasiun Bogor dan Paledang sudah melalui proses pengkajian.
Proyek berkonsep TOD ini diperkirakan dapat "groundbreaking" pada 5 Oktober 2017 dan rampung sekitar Oktober 2019. Hunian TOD ini akan dibangun di atas lahan KAI yang terintegrasi dengan Stasiun Bogor dan Stasiun Paledang dengan hak guna kepemilikan rusunami berjangka waktu hingga 50 tahun.
Dengan total lahan seluas 98.910 meter persegi TOD Bogor yang memiliki nilai investasi kurang lebih Rp1,5 triliun. Sebanyak 20-30 persen kawasan hunian berbasis TOD ini ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang akan selesai dalam 24 bulan.
2020 Stasiun Bogor Macet Parah Bila Persoalan Ini Dibiarkan
Kamis, 28 September 2017 8:38 WIB
Kalau kondisi eksisting tidak melakukan apa-apa, tidak diintervensi, wali kota berganti sampai tahun 2020 tidak ada apa-apa, maka lokasi di situ (stasiun) akan mengerikan sekali, akan "stuck". Orang tidak bisa bergerak, mobil tidak bisa bergerak