Jakarta (ANTARA) - Sektor pertanian di Indonesia sesungguhnya saat ini menghadapi tantangan yang semakin berat, tetapi luput dari perhatian publik. Kini kian banyak petani yang terpaksa bertani di tanah subsoil alias tanah lapisan bawah yang tersingkap ke permukaan.
Petani tak lagi menanam di tanah topsoil, lapisan permukaan alami yang subur. Proses erosi, longsor, dan degradasi lahan yang berlangsung selama puluhan tahun telah mengikis lapisan tanah atas yang merupakan lapisan paling produktif penopang sistem pertanian berkelanjutan.
Bencana banjir yang melanda tiga provinsi di Sumatera yaitu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat juga telah menggerus tanah lapisan atas yang subur.
Bahkan, peneliti senior di Sumatera Barat, Prof Dian Fiantis, berkisah sampel air banjir keruh yang dikumpulkannya dari berbagai wilayah, ternyata, tak kunjung bening meskipun telah diendapkan dalam waktu semalam.
Hal itu menunjukkan kandungan liat atau klei pada air banjir sangat tinggi. Padahal, umumnya kandungan klei tertinggi pada tanah ultisols, misalnya, berada pada lapisan tanah bagian bawah.
Jika tanah bagian bawah saja sudah hanyut, maka tentu topsoil yang merupakan tanah alami bagian atas telah hilang lebih awal. Di luar daerah bencana, erosi yang mengikis topsoil juga terjadi di daerah-daerah dengan curah hujan tinggi.
Topsoil bukan sekadar tanah biasa. Ia adalah “jantung” kesuburan lahan yang kaya bahan organik, hara esensial, dan pusat kehidupan mikroba tanah. Di lapisan inilah akar tanaman aktif memperoleh nutrisi, air, dan dukungan biologis untuk tumbuh optimal.
Topsoil juga umumnya memiliki struktur tanah dan agregat tanah yang baik serta kemampuan menyerap air hujan yang baik sehingga dapat mengurangi limpasan permukaan.
Ketika topsoil hilang, yang tersisa adalah subsoil, tanah lapisan bawah yang miskin bahan organik, padat, berwarna pucat atau kemerahan, yang secara alami lemah untuk menopang kehidupan tanaman untuk pertanian yang berkelanjutan.
Fenomena ini semakin nyata di banyak wilayah Indonesia. Di daerah perbukitan dan lahan miring, erosi lembar dan erosi alur secara perlahan tetapi pasti mengangkut tanah atas setiap musim hujan.
Arang hayati
Di kawasan rawan longsor, lapisan tanah produktif bahkan dapat hilang dalam hitungan jam. Di lahan pasang surut, pembukaan lahan yang tidak terkendali mempercepat degradasi fisik dan kimia tanah.
Bahkan di lahan sawah dan tegalan dataran rendah, pengolahan intensif tanpa pengembalian bahan organik mempercepat penurunan kualitas tanah. Akibatnya, petani menanam di media tumbuh yang secara fisik, kimia, dan biologis jauh dari ideal.
Bertani di tanah subsoil berarti bertani dengan biaya lebih tinggi dan risiko lebih besar. Tanah subsoil umumnya miskin nitrogen, fosfor, dan karbon organik. Struktur tanahnya buruk, padat, dan sulit menahan air. Pada musim hujan, air cepat mengalir tanpa sempat disimpan, sementara pada musim kemarau tanah menjadi keras bak batuan.
Respons terhadap pupuk anorganik pun sering tidak efisien karena hara mudah tercuci lalu hilang sehingga pembiayaan pupuk sia-sia. Pantas petani sering mengalami produktivitas tanaman stagnan atau menurun meskipun input pupuk dan pestisida terus ditingkatkan.
Pertanyaannya, apakah bangsa Indonesia harus pasrah menerima kenyataan bahwa tanah subur yang diandalkan untuk menopang pertanian ternyata telah hilang?
Tentu manusia, terutama para ahli, tidak boleh menyerah. Jika topsoil alami telah hilang, maka jalan ke depan adalah membangun topsoil baru secara buatan melalui rekayasa ekologis tanah.
Artinya, tanah tidak lagi dipandang sekadar sebagai media tanam, tetapi sebagai sistem hidup yang dapat dipulihkan. Pada konteks inilah biochar menawarkan harapan yang semakin relevan.
Biochar adalah arang hayati hasil pirolisis biomassa seperti limbah pertanian, sekam padi, tongkol jagung, tempurung kelapa, atau residu kehutanan dalam kondisi minim oksigen.
Berbeda dengan arang biasa, biochar dirancang untuk diaplikasikan ke tanah sebagai pembenah jangka panjang.
Karakternya unik, yakni stabil, berpori tinggi, ringan, dan kaya permukaan aktif yang mampu berinteraksi dengan air, hara, dan mikroorganisme tanah.
Kaya karbon
Dalam konteks tanah subsoil, biochar bekerja pada tiga level kunci. Pertama, mengunci karbon agar tidak terlepas ke atmosfer dan memperkaya bahan organik tanah. Subsoil umumnya hampir “kosong” karbon.
Biochar kaya dengan karbon, sehingga menyediakan kerangka karbon yang sangat stabil, mampu bertahan puluhan hingga ratusan tahun di dalam tanah.
Hal ini bukan hanya meningkatkan kualitas tanah, tetapi juga berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim melalui penyimpanan karbon jangka panjang.
Kedua, mengikat dan menahan hara. Struktur berpori biochar berfungsi seperti spons sekaligus bank hara.
Ini juga meningkatkan kapasitas tukar kation, mengurangi pencucian nitrogen dan kalium, serta membantu ketersediaan fosfor yang selama ini banyak terikat dalam tanah masam.
Dalam tanah subsoil yang miskin dan reaktif, fungsi ini sangat krusial untuk meningkatkan efisiensi pupuk, menekan kehilangan hara, dan menurunkan biaya produksi petani.
Ketiga, dan sering kali paling menentukan, biochar menjadi rumah bagi mikroba penyubur tanah. Pori-pori mikro biochar menyediakan habitat aman bagi bakteri, jamur, dan mikroorganisme menguntungkan.
Ketika dikombinasikan dengan pupuk organik, kompos, atau pupuk hayati, biochar mempercepat terbentuknya ekosistem tanah yang hidup, cikal bakal topsoil baru yang fungsional dan tangguh.
Biochar menjadi jawaban ketika banyak pupuk hayati diterapkan, tetapi gagal memberi kontribusi karena mikroba yang diberikan ke dalam tanah tak memiliki rumah untuk tinggal dengan nyaman. Biochar menjadi rumah bagi miliaran mikroba yang akan menyuburkan tanah.
Pengalaman global menunjukkan bahwa biochar paling efektif bukan sebagai solusi tunggal, melainkan sebagai bagian dari pendekatan pertanian regeneratif.
Sangat menjanjikan
Di Indonesia, penerapan biochar sangat menjanjikan karena bahan baku biomassa tersedia melimpah dan sering kali belum dimanfaatkan optimal.
Limbah pertanian yang selama ini dibakar atau dibuang justru dapat diubah menjadi aset strategis untuk memulihkan tanah, meningkatkan pendapatan petani, sekaligus mengurangi emisi.
Namun, tentu biochar tidak boleh dipandang sebagai “panasea instan”. Dibutuhkan kebijakan yang mendorong riset spesifik lokasi, standar kualitas biochar, pendampingan petani, serta integrasi dengan praktik konservasi tanah seperti terasering, penutup tanah, rotasi tanaman, dan pengelolaan air.
Tanpa pengendalian erosi, topsoil baru yang dibangun dengan biochar akan kembali hilang sehingga biaya yang dibenamkan menguap tanpa bekas.
Sebelum praktik-praktik konservasi tanah dan air tahap lanjut tersebut dilakukan, maka lahan dapat juga ditanami terlebih dahulu dengan tanaman perintis dari keluarga leguminosa alias kacang-kacangan.
Tanaman perintis mampu hidup di tanah miskin hara dan memproduksi biomassa yang memasok bahan organik ke dalam tanah dengan cepat.
Akar tanaman juga menghasilkan eksudat akar yang menjadi sumber energi mikroba sehingga populasi mikroba di dalam tanah cepat berlipat.
Ketika berbagai tindakan itu dilakukan dengan tahapan yang tepat, maka penggunaan biochar sebagai bahan ameliorasi tanah menjadi efektif.
Ke depan, tantangan pertanian Indonesia bukan hanya meningkatkan produksi, tetapi memulihkan fondasi ekologisnya.
Bangsa Indonesia harus jujur mengakui bahwa sebagian besar lahan pertanian di bumi nusantara telah kehilangan topsoil alaminya. Bertani di tanah subsoil adalah kenyataan pahit, tetapi bukan akhir cerita.
Dengan ilmu pengetahuan, inovasi lokal, dan kebijakan yang berpihak pada regenerasi tanah, biochar dapat menjadi salah satu kunci membangun topsoil baru dan menyalakan kembali harapan bagi pertanian Indonesia yang berkelanjutan.
*) Prof Dr Ir Dedi Nursyamsi MAgr adalah Penyuluh di Kementerian Pertanian dan Dr Destika Cahyana SP MSc adalah Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
