Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengajak segenap masyarakat Kabupaten Bekasi, Jawa Barat untuk berani menolak segala bentuk praktik politik uang demi mendapatkan pemimpin yang jujur dan berintegritas berdasarkan hasil pemilihan kepala daerah 27 November mendatang.
"Di beberapa pertemuan saya selalu mengatakan, sebenarnya kalau sepakat, masyarakat bisa mendeklarasikan anti money politics (politik uang), kalau mau. Sebab merujuk ajaran Islam, money politics tidak diperbolehkan dan itu bahkan sudah ada fatwa dari MUI," kata Ketua MUI Kabupaten Bekasi Profesor Mahmud di Cikarang, Senin.
Pernyataan ini disampaikan Mahmud menanggapi hasil survei Skala Institute bersama Ragaplasma Research yang menyebutkan 45,38 persen pemilih di Kabupaten Bekasi bakal mengubah pilihan suara pada Pilkada Serentak 2024 karena diiming-iming imbalan dalam bentuk uang, barang dan jasa.
Baca juga: Pilkada Kabupaten Bekasi dibayangi praktik politik uang
Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung 2015-2023 itu menegaskan kewajiban menolak politik uang dalam ajaran agama Islam terdapat dalam salah satu hadist yang menyebutkan bahwa Allah melaknat pemberi dan penerima suap, termasuk perantara di antara keduanya.
"Laknat adalah kutukan dari Allah SWT yang berarti pelakunya akan mendapatkan siksa dan murka dari Allah SWT. Dan sebetulnya bukan cuma di akhirat, tetapi di dunia pun sudah ada persekot (uang muka) kalau kita punya pemimpin hasil money politics," katanya.
"Seseorang yang mau menggelontorkan modal di awal dengan jumlah relatif besar, pasti cenderung ingin modal kembali dan dengan gaji sedikit maka solusinya adalah dengan korupsi. Makanya kita tidak memperbolehkan," imbuh dia.
Baca juga: Bawaslu Bekasi ajak karang taruna cegah politik uang pada Pilkada 2024
Baca juga: Bawaslu Bekasi ajak karang taruna cegah politik uang pada Pilkada 2024
MUI Kabupaten Bekasi terus berupaya mengedukasi masyarakat terkait persoalan ini baik dalam sejumlah agenda dakwah, ceramah maupun tulisan.
Namun dirinya pun mengakui masih ada pihak-pihak yang belum memahami peran vital tokoh agama dalam mencegah politik uang serta menjadi qudwah hasanah atau tauladan yang baik.
"Karena memang terkadang kita belum bisa menjadi qudwah hasanah, role model sebagai tokoh agama yang dilihat umat. Memang ini butuh waktu dan saya ingin mengajak betul teman-teman itu, yuk kita ikhtiar menjadi qudwah hasanah, role model yang baik," katanya.
Dia menjelaskan Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang hukum permintaan dan atau pemberian imbalan atas proses pencalonan pejabat publik melalui forum 'Ijtima Ulama Komisi Fatwa Indonesia' pada tahun 2018 lalu.
Baca juga: Mahasiswa minta KPK selidiki politik uang proses penetapan Wabup Bekasi
Isi fatwa dimaksud berbunyi suatu permintaan dan atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenangan, hukumnya haram, karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.
Meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangan, maka hukumnya haram.
Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangan, maka hukumnya haram.
Imbalan yang diberikan dalam proses pencalonan dan atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum.(KR-PRA).