Tokyo, 30/10 (ANTARA) - Serangan bom atom Amerika Serikat (AS) di Hiroshima dan Nagasaki masing-masing pada 6 serta 9 Agustus 1945 yang menewaskan sedikitnya 220.000 orang di kedua frefektur itu tidak membuat Aoki Katsuko (79) terlalu terpukul.
Ketika kedua bom atom yang memaksa Jepang menyerah pada Sekutu dan mengakhiri Perang Dunia II itu dijatuhkan angkatan udara AS lewat pesawat B-29, perempuan yang tinggal jauh dari Hiroshima dan Nagasaki itu masih berusia 13 tahun.
Namun gempa bumi berkekuatan sembilan skala Richter yang diikuti tsunami yang menghantam sebagian wilayah Jepang pada 11 Maret 2011 merupakan mimpi buruk bagi ibu tiga orang anak dan nenek dari dua orang cucu ini.
Betapa tidak, Aoki Katsuko termasuk salah dari dari puluhan ribu warga yang harus diungsikan dari Frekfektur Fukushima karena Kota Hirano di mana rumah yang ditempatinya puluhan tahun berada termasuk dalam wilayah rawan radiasi bencana "eksiden nuklir" PLTN Fukushima Daiici.
"Gempa 11 Maret itu lebih buruk dari Perang Dunia karena daerah saya bukan sasaran bom atom," kata perempuan yang sejak Juli lalu menetap di salah satu unit rumah sementara yang dibangun pemerintah bagi korban bencana alam 11 Maret di kota Iwaki, sekitar 45 kilometer dari lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiici.
Aoki Katsuko yang tinggal di rumah sementara tahan gempa dengan dua kamar yang dilengkapi dapur, peralatan masak-memasak, mesin cuci, kulkas, pendingin ruangan (AC), dan tabung gas ini mengatakan ia tetap mensyukuri kondisi hidupnya saat ini.
Hanya saja dia mengaku kehilangan dengan kegiatan bercocok tanam padi dan kentang yang dia lakoni puluhan tahun di lahan pertaniannya yang hanya seluas 300 meter persegi di kampung halamannya sampai bencana 11 Maret lalu datang.
"Kini kami hidup dari uang pensiun," kata perempuan yang tinggal bersama suaminya ini kepada ANTARA dan wartawan dari sembilan negara Asia lainnya peserta program kunjungan Kementerian Luar Negeri Jepang, Jumat (28/10).
Untuk mengisi waktu di kompleks perumahan sementara yang berlokasi di kawasan bernama kota baru Iwaki, sekitar tiga jam dengan bus dari Tokyo, itu, Aoki Katsuko menanam bunga di pot-pot, bercengkrama dengan teman-teman seusianya, serta menonton televisi di rumah.
Kendati anak-anak dan cucu-cucunya tinggal terpisah dari dirinya di rumah sementara tahan gempa yang disediakan pemerintah untuk ditempati maksimal hingga dua tahun itu, dia mengatakan, hatinya terobati karena dapat tetap bertetangga dengan teman-teman sekampung yang sudah dikenalnya sejak puluhan tahun.
Di antara teman-teman sekampungnya itu adalah Tonii Nimoto (83), Emiko Ohira (82), Kimiko Saito (77), dan Moyo Kanazawa (79). "Kami sering berkumpul bersama," kata nenek yang mengaku "khawatir" dengan datangnya musim dingin ini.
Aoki Katsuko dan ke-empat orang tetangganya itu merupakan bagian dari sekitar 20 ribu warga Frefektur Fukushima yang terpaksa dievakuasi untuk menghindari bahaya radiasi setelah sejumlah unit reaktor PLTN Fukushima Daiichi rusak akibat gempa dan tsunami 11 Maret lalu.
Menurut Direktur Iwaki Center, Yoshikatsu Terui, sebanyak 20 ribu warga dari daerah-daerah yang berada di radius 20 - 30 kilometer, seperti Hirano, Naraha, Tomioka, Okuma, dan Kawauchi itu dievakuasi ke kota Iwaki dan kota-kota sekitarnya.
Pengelolaan Pusat Evakuasi
Di antara mereka yang ikut dievakuasi itu adalah Wali Kota Hirano, Yamada Motohoshi, dan para pegawai pemerintah kota, kata direktur organisasi nirlaba yang menjadi mitra pemerintah Frefektur Fukushima dalam membantu para korban bencana ini.
Yoshikatsu Terui mengatakan, pihaknya bertanggung jawab terhadap pengelolaan pusat evakuasi di Chuodai, kota Iwaki, serta pemberian bantuan dan pemantauan keadaan para penghuni perumahan sementara, khususnya yang mereka yang sudah berusia renta.
"Di bawah proyek ini, kami menyiapkan pusat pemantauan dan pengawasan kesehatan para penghuni berusia tua, menghibur mereka dengan bermain 'game' dan makan bersama agar mereka terhindar dari rasa kesepian. Kami mengunjungi sebanyak mungkin rumah," kata pegiat organisasi nirlaba Iwaki Center ini.
Kondisi psikologis dan kesehatan para korban bencana yang sudah menempati rumah-rumah sementara tahan gempa yang bahan konstruksinya antara lain dipasok perusahaan Daiwa House Group ini mendapat perhatian serius pihaknya guna menghindari kasus-kasus yang tidak diinginkan, seperti bunuh diri.
Hanya saja, kondisi di lapangan tidak mudah karena jumlah dokter berizin praktek dan spesialis kesehatan berkurang pascabencana karena tidak sedikit dari mereka yang pindah dari Frefektur Fukushima ke kota-kota lain di Jepang, katanya.
Di tengah kondisi demikian, didukung tujuh orang staf, pihaknya melayani kepentingan warga yang dievakuasi dan kini menempati kompleks perumahan sementara yang peralatan rumah tangganya antara lain dipasok melalui bantuan Masyarakat Palang Merah Jepang (JRCS) ini, katanya.
Selain mengawasi kondisi kesehatan dan psikis para penghuni berusia tua, sakit-sakitan, dan mereka yang banyak minum-minuman beralkohol, para staf Iwaki Center juga memberi perhatian pada kasus-kasus penganiayaan anak oleh orangtua maupun penganiayaan orangtua oleh anak akibat tekanan mental pascabencana, katanya.
Apa yang disampaikan Yoshikatsu Terui diamini Chieko Iitaka dan Kyoko Ueno, dua staf Iwaki Center yang bertugas menangani para penghuni kompleks perumahan sementara bantuan pemerintah itu.
"Hidup di sini (rumah sementara) tidak menyenangkan dan kami mendengarkan keluh-kesah dan beragam masalah para penghuni. Lalu kami melaporkannya ke Iwaki Center," kata kedua ibu rumah tangga yang kehilangan pekerjaan dan ikut dievakuasi akibat eksiden PLTN Fukushima Daiichi itu.
Chieko dan Kyoko merasa aman tinggal di kota Iwaki yang berjarak sekitar 45 kilometer dari PLTN Fukushima Daiichi tapi, kalau mengingat masa depan anak-anak, mereka menginginkan bisa menetap lebih dari jauh lagi dari kota itu.
Berbeda dengan Chieko dan Kyoko, kaum tua Jepang, seperti Aoki Katsuko justru ingin kembali ke kota dimana dia dan sanak keluarganya menapaki hidup puluhan tahun sampai bencana yang melanda belasan frefektur, khususnya Fukushima, Miyagi, dan Iwate, dan menewaskan 15.726 orang itu mengubah segalanya.
"Saya takut musim dingin tapi saya bisa siapkan alat pemanas (ruangan). Itu cukup hangat bagi saya. Pemerintah pun bertanggungjawab sekali pada kami tapi saya ingin bisa pulang ke rumah saya lagi," kata perempuan berusia 79 tahun asal kota Hirono ini.
Sepenggal Harapan Korban Bencana Jepang Di Iwaki
Minggu, 30 Oktober 2011 17:29 WIB
Sepenggal-Harapan-Korban-Bencana-Jepang-Di-Iwaki