Jakarta (ANTARA) - Menangis merupakan bahaya bayi untuk berbagai kondisi, termasuk saat menginginkan ASI dan merasa tak nyaman, demikian dikatakan para pakar kesehatan dalam sebuah diskusi belum lama ini di Jakarta.
Hanya saja, terkadang ibu termasuk yang baru kali pertama menyusui langsung mengartikan tangisan ini dengan asupan ASI darinya yang tak cukup dan runtuhlah sudah kepercayaan dirinya untuk menyusui.
Ini salah satunya diakui Ketua Kelompok Kerja Penurunan Angka Kematian Ibu dan Stunting Perkumpulan Obstetri Dan Ginekologi Indonesia (POGI) Prof Dr dr Dwiana Ocviyanti, SpOG, Subsp. Obginsos(K), MPH. Nilai ASI cukup atau tidak bukan karena bayi menangis atau mengalami kuning seperti yang dikhawatirkan sebagian ibu.
Saat ibu melihat bayi masih buang air kecil dan air besar secara teratur semisal dua hingga tiga jam sekali setiap hari, maka hampir sulit dikatakan bahwa ASI ibu tak cukup sehingga beralih ke makanan tambahan lain, termasuk air.
Namun, saat bayi tak berkemih dalam enam atau 12 jam, barulah membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan dari tenaga kesehatan.
Bayi yang menangis bisa juga karena mengalami kolik atau kondisi bayi menangis selama lebih dari tiga jam dalam sehari. Menurut Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus dokter spesialis gastrohepatologi anak Prof dr Badriul Hegar Sjarif, SpA(K), PhD kondisi ini sebenarnya disebabkan imaturitas pada saluran cernanya. Bayi mengalami kolik dikatakan normal sampai usianya lima bulan.
Saat menghadapi bayi yang kolik, ibu bisa melakukan berbagai cara termasuk menggendong buah hatinya tetapi sebaiknya tak terburu-buru mengganti ASI.
Di sisi lain, bayi yang biasanya diberi ASI dikatakan lebih sering menangis dan tangisannya reda saat mendapatkan ASI. Ini lagi-lagi bukan disebabkan ASI ibu kurang, melainkan akibat pengosongan lambung yang lebih cepat karena ASI mudah dicerna, kata Ketua Satuan Tugas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Naomi Esthernita Fauzia Dewanto, SpA(K).
"Kalau minum ASI, dia pengosongan lambungnya lebih cepat karena lebih mudah dicerna. Bukan berarti (ASI) kurang," kata dia.
Tentang produksi ASI
Saat berbicara mengenai menyusui, maka bahasan produksi ASI menjadi salah satu yang tak bisa dilepaskan. Naomi seperti halnya pakar kesehatan anak lainnya menginngatkan produksi ASI ibu belum banyak pada hari-hari pertama kelahiran bayi.
Ini karena pengeluaran ASI atau laktogenesis kedua baru dimulai 30-40 jam sejak bayi lahir, sehingga produksi ASI cenderung mulai banyak pada hari ketiga kelahiran bayi. Jumlah ASI yang dikeluarkan pun disesuaikan dengan kebutuhan bayi, sehingga Naomi meminta para ibu tak perlu khawatir.
Lalu, kendati produksi ASI pada hari pertama dan kedua belum banyak, atau bahkan sebatas 0,3 ml ibu disarankan tetap melakukan stimulasi dengan tetap menyusui bayi, guna meningkatkan hormon prolaktin--guna meningkatkan produksi ASI.
"Seringkali yang keliru, ibu bilang enggak ada ASI. Justru dengan dia sucking, meskipun dapat 0,3 atau 1 cc, itu sangat berguna," ujar Naomi.
Hal senada diungkapkan Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Piprim Basarah yanuarso, SpA(K), yang bahkan berpendapat bayi yang lapar dibutuhkan terutama di dua hari pertama sejak kelahirannya.
"Bayi yang lapar itu dikatakan akan menyedot ASI secara kuat dan kalau menyedotnya kuat refleks produksi ASI-nya akan cukup. Tetapi kalau bayinya dikasih susu formula, sudah kenyang, tidak menyedot, ya produksi ASI-nya sedikit," tutur dia.
Piprim meyakinkan para ibu bahwa bayi saat berusia tiga hari pertama memiliki cadangan lemak cokelat yang diubah jadi keton sebagai bahan bakar otaknya, selain itu lambungnya juga masih berukuran kecil. Oleh karena itu, apabila jumlah ASI ibu pada hari-hari awal menyusui semisal hanya 20 ml, itu sudah cukup untuk lambung bayi.
Kemudian, guna ibu sukses menyusui, Piprim termasuk yang berpendapat dukungan keluarga terutama di hari-hari pertama sejak dia melahirkan menjadi faktor yang menentukan.
Di sisi lain, ibu juga perlu membekali diri dengan pengetahuan seputar menyusui misalnya dengan menghadiri konseling laktasi. Merujuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) konseling harus diberikan baik pada periode antenatal atau kehamilan dan postnatal hingga 24 bulan atau lebih.
Konseling laktasi diberikan sebagai perawatan berkelanjutan oleh tenaga kesehatan terlatih atau konselor laktasi terlatih, yang di antaranya menerangkan kondisi menyusui, tantangan dan meningkatkan kemampuan serta kepercayaan diri ibu.
Merujuk studi yang dilakukan peneliti dari Universitas Indonesia, diketahui edukasi tentang menyusui dari petugas kesehatan, ibu mengikuti kelas hamil dan rutin melakukan perawatan antenatal menjadi faktor pendukung keberhasilan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan,selain faktor lainnya.
Ini didapatkan setelah peneliti mewawancarai 30 orang di Kota Padang, meliputi staf dinas kesehatan, bidan di puskesmas, ahli gizi puskesmas, ibu yang berhasil menyusui eksklusif hingga 6 bulan, ibu yang gagal memberikan ASI eksklusif minimal 6 bulan, suami dari ibu menyusui dan anggota keluarga yang mendampingi ibu menyusui. Hasil studi ini masih dalam proses publikasi di jurnal ilmiah kesehatan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tangisan si kecil tak selalu berarti ASI ibu kurang
Dokter: Tangisan si kecil tak selalu berarti ASI ibu kurang
Senin, 8 Januari 2024 20:17 WIB