Jakarta (ANTARA) - Presiden Prabowo di Istana Merdeka, Jakarta, 11 Maret 2025, mengumumkan bahwa tunjangan hari raya (THR) akan dibayar dua pekan sebelum Hari Raya Idulfitri, sedangkan, gaji ke-13 akan dibayar pada awal tahun ajaran baru sekolah yaitu pada Juni 2025.
Presiden juga telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2025 tentang kebijakan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 bagi aparatur sipil negara.
Kabar ini membawa rasa lega tersendiri bagi 9,4 juta aparatur negara di pusat dan di daerah, termasuk PNS, pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), prajurit TNI dan Polri, para hakim, serta para pensiunan di seluruh Indonesia.
Prabowo merinci besaran pemberian THR dan gaji ke-13 untuk ASN pusat, prajurit TNI/Polri, dan hakim meliputi gaji pokok, tunjangan melekat, dan tunjangan kerja.
Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran senilai Rp49,4 triliun untuk THR ASN 2025, dengan rincian Rp17,7 triliun untuk ASN pusat, pejabat negara, prajurit TNI, dan anggota Polri; Rp12,4 triliun untuk pensiunan dan penerima pensiun; dan Rp19,3 triliun untuk ASN daerah.
Bagi ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, pemberian THR menegaskan komitmen negara dalam menjaga kesejahteraan aparatur sipil negara.
“Kebijakan pemerintah untuk memberikan THR bagi ASN, termasuk tukin 100 persen, yang akan disalurkan mulai dua minggu sebelum Idul Fitri 2025, menegaskan komitmen negara dalam memperhatikan kesejahteraan aparatur negara,” kata Achmad saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.
Secara jangka pendek, pemberian THR kepada ASN, termasuk pensiunan, tentu akan mendorong konsumsi rumah tangga, terutama menjelang momentum Lebaran.
Daya beli ASN dan keluarga diyakini meningkat, sehingga permintaan barang dan jasa akan melonjak signifikan.
Ini bisa menjadi stimulus positif untuk sektor ritel, makanan, pariwisata domestik, hingga UMKM yang menggantungkan harapan pada tingginya perputaran uang selama musim liburan.
Namun, Achmad menyoroti keberlanjutan dari kebijakan fiskal negara. Tahun 2025 merupakan masa transisi pemerintahan dengan beban fiskal yang cukup berat, baik dari sisi pembiayaan program-program prioritas, komitmen infrastruktur, maupun menjaga stabilitas makroekonomi.
Pemberian THR plus tunjangan kinerja 100 persen bagi 9,4 juta ASN dan pensiunan, meskipun sudah dialokasikan dalam APBN, tetap merupakan komponen belanja rutin yang memakan porsi signifikan.
Ini menjadi perhatian karena sebagian besar penerimaan negara masih sangat bergantung pada pajak dan penerimaan komoditas yang fluktuatif.
Maka dari itu, Achmad mengimbau pemerintah untuk mengaitkan pemberian THR dengan rasionalisasi belanja negara lainnya, misalnya, dengan menunda belanja yang kurang prioritas, mengoptimalkan belanja modal yang berdampak jangka panjang, dan meningkatkan efisiensi birokrasi.
Baca juga: Antisipasi beban fiskal dari kebijakan THR
Postur APBN
Namun, perlu diakui bahwa di balik keputusan yang berpihak pada aparatur negara ini, ada pertanyaan besar yang masih perlu dijawab. Bagaimana kebijakan ini berdampak terhadap postur APBN ke depan?
Apakah pengalokasian anggaran untuk THR, Gaji ke-13, dan bahkan tunjangan kinerja (tukin) 100 persen ini tidak akan mengorbankan sektor lain yang juga krusial, seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memang telah menegaskan bahwa alokasi anggaran untuk THR aparatur sipil negara tahun 2025 telah disiapkan sebesar Rp49,4 triliun.
Sri Mulyani merinci, anggaran THR teralokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025 melalui anggaran pada Kementerian/Lembaga (K/L), Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN), serta Transfer ke Daerah (TKD).
Namun kemudian, kritik utama yang sering muncul dari kebijakan fiskal seperti ini adalah bagaimana memastikan bahwa insentif kepada ASN tetap seimbang dengan kebutuhan rakyat secara lebih luas.
Di satu sisi, ASN, TNI, dan Polri memang memiliki peran strategis dalam pemerintahan dan keamanan negara. Namun, di sisi lain, kelompok masyarakat pekerja informal dan buruh di sektor swasta juga tengah menghadapi tantangan ekonomi yang berat.
Kebijakan yang terlalu berfokus pada aparatur negara bisa saja memunculkan kesenjangan sosial jika tidak disertai dengan strategi yang menyeluruh.
Baca juga: THR jadi bantalan hadapi lonjakan harga
Oleh karena itu, kebijakan ini sebaiknya diimbangi dengan langkah konkret lain yang dapat memperkuat daya beli masyarakat secara lebih luas, bukan hanya bagi mereka yang berada dalam sistem pemerintahan.
Solusi yang dapat ditawarkan adalah mendorong kebijakan insentif bagi sektor swasta agar mereka juga dapat memberikan THR dan tunjangan yang layak kepada karyawannya.
Pemerintah misalnya bisa mempertimbangkan relaksasi pajak atau skema subsidi tertentu bagi usaha kecil dan menengah yang terdampak ekonomi agar dapat memberikan kesejahteraan lebih bagi para pekerjanya.
Dengan begitu, kebijakan ini tidak hanya dirasakan oleh ASN, tetapi juga oleh masyarakat umum yang turut serta dalam roda perekonomian nasional.
Selain itu, pemerintah juga perlu lebih transparan dalam menyampaikan sumber pendanaan kebijakan ini.
Jika pembayaran THR, Gaji ke-13, dan tukin 100 persen memang telah diperhitungkan dalam struktur APBN tanpa mengorbankan sektor lainnya, maka publik harus diberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai bagaimana mekanisme anggaran ini bekerja.
Keterbukaan informasi akan menghilangkan spekulasi liar yang sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan hoaks.
Baca juga: Menteri Keuangan alokasikan Rp49,4 triliun untuk THR ASN 2025
Reformasi Birokrasi
Langkah berikutnya yang bisa dilakukan adalah mengaitkan kebijakan ini dengan reformasi birokrasi yang lebih mendalam.
Jika kesejahteraan ASN meningkat, maka ekspektasi terhadap peningkatan kinerja mereka juga harus lebih tinggi. Insentif yang diberikan harus sebanding dengan reformasi dalam pelayanan publik yang lebih cepat, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Tanpa peningkatan kualitas birokrasi, kebijakan ini berisiko dianggap sebagai beban fiskal yang tidak memberikan dampak nyata bagi publik.
Presiden Prabowo telah menunjukkan bahwa ia memiliki perhatian khusus terhadap aparatur negara, tetapi untuk menjaga keseimbangan dalam kebijakan ekonomi, kebijakan ini harus diiringi dengan strategi yang lebih luas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Jika tidak, kebijakan ini bisa menjadi bumerang yang menimbulkan kecemburuan sosial di tengah rakyat.
Baca juga: THR untuk ASN-TNI-Polri dibayarkan mulai 17 Maret dan gaji ke-13 pada Juni 2025
Langkah yang harus diambil selanjutnya adalah memastikan bahwa anggaran yang digunakan untuk pembayaran THR dan Gaji ke-13 ini tidak menghambat agenda pembangunan lainnya.
Pemerintah harus membuktikan bahwa kebijakan ini bukan sekadar populisme fiskal, tetapi merupakan bagian dari strategi ekonomi yang lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas nasional.
Dengan demikian, kebijakan ini bisa menjadi momentum yang baik untuk menunjukkan bahwa negara hadir tidak hanya untuk aparatur negara, tetapi juga untuk seluruh rakyatnya.
Perhatian terhadap ASN, TNI, dan Polri memang penting, tetapi kebijakan ini akan lebih sempurna jika diiringi dengan kebijakan tambahan yang berpihak pada sektor swasta, pekerja informal, dan masyarakat luas.
Dengan pendekatan yang lebih komprehensif, kebijakan ini tidak hanya menjadi keputusan fiskal semata, tetapi juga menjadi langkah nyata dalam membangun ekonomi yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Baca juga: Aplikator transportasi berikan bonus hari raya kepada mitra pengemudi teladan dan aktif