Depok (Antaranews Bogor) - Peneliti Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Rizal Edi Halim berharap kandidat capres memiliki visi misi tentang energi yang konkret karena penanganan secara nasional tidak hanya untuk ketahanan tapi juga mendorong kedaulatan dan kemandirian energi
"Komitmen pasangan capres terhadap kedaulatan dan kemandirian energi perlu tertuang dalam rencana jangka menengah pasangan capres sepanjang periode 2014-2019," kata Rizal di Depok, Senin.
Ia mengatakan penanganan energi nasional saat ini tidak tepat seperti program konversi minyak tanah ke gas elpiji (LPG). Setidaknya ada empat pertimbangan utama yaitu Pertama, elpiji merupakan gas yang diproses dari fraksionasi minyak bumi.
Elpiji merupakan campuran dari berbagai unsur hydrocarbon yang berasal dari penyulingan minyak mentah. Penyediaan kebutuhan konsumsi elpiji nasional sebagian besar dipasok dengan impor yang mencapai 55,8 persen.
Kedua lanjut Rizal konversi elpiji tetap membebani fiskal negara melalui importasi dan pos subsidi energi. Pada 2014, konsumsi LPG untuk gas bersubsidi mencapai 4,8 juta metrik ton, atau naik dari realisasi pada 2013 di 4,4 juta metrik ton (data Pertamina).
Sedangkan konsumsi pada kuartal I-2014 telah menyerap 1,2 juta metrik ton atau 25 persen dari konsumsi tahun ini. Ini belum termasuk praktik kebocoran subsidi yang seharusnya ke rumah tangga tapi dijual ke industry dengan harga non subsidi.
Selanjutnya ketiga yaitu emisi gas dari elpiji masih tergolong tinggi dan memperburuk kesehatan lingkungan. Kajian dari CROB, lembaga riset di Belanda mengungkapkan buangan CO2 dari elpiji lebih tinggi dari CO2 yang dihasilkan energi diesel dan LNG.
Keempat, harga gas elpiji lebih mahal 300 persen dari gas alam (LNG) yang diproduksi secara nasional. Bayangkan jika masayarakat harus mengeluarkan Rp 100 ribu untuk gas elpiji 12 kg sementara pemerintah dapat menyediakan gas alam (LNG) yang sama dengan harga Rp30-35 ribu.
Rizal mengatakan hal ini tentunya sangat merugikan bagi masayrakat yang seharusnya dapat menikmati gas alam (LNG) yang jauh lebih murah. Efisiensi dari penggunaan gas alam (LNG) untuk sektor kelistrikan dan transportasi jauh lebih tinggi dibanding penggunaan gas epiji (LPG).
Artinya jika tersedia energi yang lebih efisien yang berdampak luas bagi ekonomi masyarakat dan rumah tangga, mengapa kita menggunakan energi yang mahal?
Ia mengatakan sudah waktunya, masyarakat menyikapi hal ini mengingat peranan penggunaan energi dari gas elpiji (selain minyak mentah) sangat membebani pengeluaran rumah tangga. Beban ini dapat ditemui dari seluruh public goods/services yang tersedia di respublik saat ini mulai dari kebutuhan pokok, listrik, dan kebutuhan lain yang sifatnya sekunder.
"Kalau ini dibiarkan terus, peluang mendorong kesejahteraan masayarakat akan terkendala dan kita akan kesulitan mendorong daya saing ekonomi secara nasional. Selamatkan ekonomi nasional dengan menghentikan praktik politisasi energi demi mewujudkan kesejahteraan yang seluas-luasnya bagi seluruh masyarkat Indonesia," katanya.
Capres harus punya visi misi energi konkret
Senin, 2 Juni 2014 11:07 WIB
"Komitmen pasangan capres terhadap kedaulatan dan kemandirian energi perlu tertuang dalam rencana jangka menengah pasangan capres sepanjang periode 2014-2019,"