Jakarta (ANTARA) - Pilkada Serentak 2020 merupakan Pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah hasil pemilihan 2015 sesuai amanat UU Pilkada nomor 10 tahun 2016, pasal 201 ayat 6. Pilkada Serentak itu diselenggarakan di 270 daerah (9 provinsi, 224 Kabupaten dan 37 kota). Selain itu, adanya potensi peningkatan indek kerawanan pemilu di ajang kontestasi Pilkada 2020 terkoneksi jumlah petahana mencapai 70 persen siap berkompetisi. Menariknya lagi, kehadiran Putra dan Menantu Presiden RI serta Putri wakil Presiden RI dalam pusaran pertarungan politik lokal.
Kekuatan magnet para kompetitor petahana dalam Pilkada Serentak itu memiliki bias terhadap kualitas demokrasi mencapai momentum purna yaitu Pemilu Serentak 2024. Politik anggaran sebagai kekuatan petahana menjadi catatan kaki dari Pilkada dan pemilu di era reformasi, apalagi ketika sudah dibumbui oleh menu politik uang baik berdimensi mahar politik, perburuan rente dalam mobilisasi suara serta kolaborasi penyelenggara Pemilu dengan peserta pemilu masih melakat membajak demokrasi subtansial.
Sesuai PKPU 18/2019 tahapan pendaftaran pencalonan Kepala Daerah bulan Juni 2020 yang tinggal beberapa bulan lagi atau sudah dalam proses pencalonan, namun diawal Tahun 2020 publik dikagetkan fakta Komisioner KPU RI (Wahyu Setiawan) ditangkap oleh KPK terkait kasus suap PAW oleh Harun Masiku (PDI Perjuangan). Selanjutnya dalam pemberitaan Tempo (13-19 Januari 2020) mengulas fakta keterlibatan Hasto Kristiyanto (Sekjen PDI Perjuangan) dalam benang merah kasus suap itu, namun KPK urung menangkapnya karena di bawah lindungan Tirtayasa. Bahkan sebaliknya petugas KPK yang hendak menangkap Hasto justru ditangkap sekelompok Polisi di PTIK. Menarik dicermati perseyewaan kasus ketika Anas Urbaningrum (Mantan Ketum Umum Partai Demokrat) divonis 8 tahun penjara terbukti korupsi menerima hadiah dan tindak pidana pencucian uang salah satunya kasus korupsi proyek Hambalang. Anas pada waktu itu tidak mendapat proteksi dari SBY ketika menjabat sebagai Presiden RI.
Korelasi kasus tersebut terkait kendala terbesar Pilkada Serentak 2020 ketika menjawab pertanyaan, mampukah UU Pilkada Nomor 10 tahun 2016 khususnya pasal 187 b sampai 187 c, yang memuat larangan keras disertai sanksi pidana kepada Parpol/gabungan parpol bahkan menjangkau Orang dan Lembaga dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan kepala daerah. Meskipun masih ada idealisme Parpol secara tegas mengharamkan mahar politik tetapi tidak menutup kemungkinan praktek politik uang dibungkus lebih rapi dan halus dengan modus setoran calon ditarik dengan dalih biaya operasional politik untuk memenangkan calon terutama selama masa kampanye. Selain itu, mencermati modus kekuatan sebaran petahana 70 persen dan kekuatan elite papan atas nasional yang mewarnai ajang kontestasi Pilkada 2020 menggerakan mesin ASN-nya memberikan kompensasi ke individu parpol dalam bentuk lain.
Disisi lain, pengawasan yang diamanatkan kepada Bawaslu untuk mengawal hal itu, juga mengalami kendala serius. Kesulitannya seperti diungkapkan Anggota Bawaslu, Dewi Pitalalo, sejumlah kesulitan dalam penanganan penindakan pelanggaran akibat masih ada norma pidana dan aturan teknis yang rumusannya “tidak jelas” sehingga menimbulkan perbedaan pendapat dalam forum pembahasan di Sentra Gakkumdu. Selain itu, ada tantangan besar dalam menyambut gelaran Pilkada 2020, menyangkut perpindahan rujukan penindakan pelanggaran dari UU Nomor 7 Tahun 2017 ke UU Nomor 10 Tahun 2016.
Indek kerawan pemilu berkaresteristik politik uang sulit dicegah oleh kekuatan masyarakat sipil, apalagi pengawas pemilu karena keterwakilannya dipilih oleh parlemen menjadikan Pilkada dikuasai oleh kekuatan oligarki. Munculnya fenomena kekhawatiran elemen masyarakat sipil itu memiliki dasar teoritis kuat.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TEPI) Jerry Sumampouw mengungkapkan, calon kepala daerah diprediksi bakal didominasi dari kalangan partai politik penyebabnya syarat calon perseorangan berat, oligarki pada penyelenggaraan negara juga semakin menguat. Lebih dalam Koordinator TEPI memaparkan, ada empat hal yang menandakan menguatnya oligarki. Pertama, maraknya politik uang. Persoalan ini, baik di pilkada maupun pemilu, belum juga dapat dituntaskan. Kedua, adanya politik dinasti yang dikuasi elite. Ketiga, makin banyaknya calon kepala daerah tunggal, dan terakhir makin sedikitnya calon perseorangan. Bahkan dalam studi Jeffry A. Winters dalam bukunya “Oligarki” menjelaskan fenomena transisi dari model oligarki Sultanik (era orde baru bercirikan konsentrasi kekuasaan) yang mengarah ke model oligarki liar (pemerintahan demokratis tidak memiliki kemampuan mengendalikan para oligark).
Kendala terbesar dalam setiap momentum Pilkada yaitu ketika kegagalan mengantisipasi dan menutup celah dari kelemahan instrument aturan pengawasan membuka ruang terjadinya prakter mahar, mobilisasi suara dan kolaborasi kriminal politik. Sehingga dari awal perencanaan lahirnya seorang calon kepala daerah sudah diselimuti praktek politik uang yang massif. Pendidikan politik massif ke arus masyarakat semestinya menjadi bagian taktik dan strategi melucuti selimut itu. Disamping masih besarnya sinar harapan moral dan integritas Partai Politik melakukan seleksi demokratis dan terbuka sebagai ikhtiar maksimal menciptakan jimat demokrasi substansial semakin berkualitas. (44/*).
*) Penulis: Peneliti Studi Ekonomi Politik Pembangunan Wilayah.
Kekuatan Politik Uang Di Pilkada 2020
Minggu, 26 Januari 2020 6:51 WIB
Kendala terbesar dalam setiap momentum Pilkada yaitu ketika kegagalan mengantisipasi dan menutup celah dari kelemahan instrument aturan pengawasan membuka ruang terjadinya prakter mahar, mobilisasi suara dan kolaborasi kriminal politik.