Pernyataan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang menyatakan siap mengevaluasi kerja sama dengan WWF (World Wild Fund) dan lembaga asing lainnya karena dinilai gagal mendukung perbaikan pengelolaan hutan di Indonesia menjadi sebuah wacana yang menarik untuk disikapi.
Meski lima tahun lalu telah disuarakan perlunya evaluasi atas kerja sama dan kolaborasi dengan pihak asing dalam pengelolaan hutan di Indonesia, namun dengan rujukan data yang disampaikan Menhut, walaupun terasa terlambat tetap tetap penting dilakukan.
Wacana yang dilontarkan Menhut usai meresmikan pelayanan perizinan secara "online" di Kemenhut pada Rabu (11/9), terkait dengan rencana evaluasi kerja sama dengan pihak asing itu menyebutkan kurang lebih bahwa kondisi hutan yang dikerjasamakan dengan lembaga asing ternyata cenderung makin buruk.
Dicontohkan apa yang terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser, Nanggroe Aceh Darussalam, di mana pembalakan liar terus terjadi, begitu juga di Taman Nasional Teso Nilo, Riau, yang dikelola secara kolaboratif dengan WWF, kondisinya semakin parah.
Akibat kegagalan perbaikan pengelolaan hutan secara kolaboratif tersebut, Menhut menyebut pemerintah harus menanggung beban tanggung jawab.
"Padahal dana yang mereka dapat dari luar negeri begitu besar. Tapi yang diprotes kami," kata Zulkifli Hasan.
Untuk itu, ke depan Menhut akan berhati-hati untuk melakukan kerja sama dengan lembaga asing.
Menhut mendasarkan analisis citra landsat dalam kurun satu dekade terakhir, setidaknya 46.960 hektare hutan kaya karbon dan rumah bagi satwa eksotis, gajah dan harimau sumatera di Taman Nasional Teso Nilo yang dikelola secara secara kolaboratif dengan WWF telah musnah.
Jika pada 2000 luas hutan di TN Teso Nilo dan hutan produksi terbatas yang berada di sisinya, yang kemudian dijadikan areal perluasan TNTN, masih mencapai 75.335 hektare, pada 2012 luas hutan tersebut tinggal 28.375 hektare.
Awalnya luas TNTN hanya 38.576 hektare berdasarkan surat keputusan menhut No.255/Menhut-II/2004.
Lewat inisiatif WWF, TNTN kemudian diperluas menjadi 83.068 hektare dengan memasukan areal hutan produksi terbatas yang berada di sisinya, berdasarkan SK No.663/Menhut-II/2009, kemudian dikelola secara kolaboratif bersama WWF
Saat ini, hutan alam di TNTN sudah hilang hingga 64 persen, sementara, khusus pada areal perluasan, hutan alam yang hancur telah mencapai 83 persen.
Kontra produktif
Pandangan yang perlu disampaikan barangkali adalah bahwa rencana langkah Menhut untuk mengevaluasi semua bentuk kolaborasi dengan pihak asing perlu didukung bersama dan bahkan perlu diikuti oleh semua kementerian lain.
Hal tersebut perlu dilakukan secara objektif, terukur dan transparan.
Selama ini memang telah terlalu banyak dinamika kontra-produktif yang terjadi dalam kolaborasi dengan pihak asing. Setidaknya sejak lima tahun lalu telah banyak pihak mengingatkan hal tersebut, bahkan telah menyerukan pula tentang perlunya segera dibuat "NGOs-Watch".
Proses evaluasi yang akan dilakukan Menteri Kehutanan tersebut juga perlu dipastikan untuk tidak bersifat "tebang-pilih" atau terperangkap pada dinamika "agency-politicking".
Jika saat ini sepertinya sedang dicuatkan satu-dua agency atau NGOs yg ibarat digambarkan punya "nilai merah", maka sesungguhnya dalam saat bersamaan kita juga tahu bahwa ada agency/NGO "hitam" yang sedang berhasil mendapat angin segar mendekat ke pusat kekuasaan.
Evaluasi atas kolaborasi asing harus dilakukan secara menyeluruh, baik visi, misi, SDM, keuangan hingga kinerjanya.
Negeri kita harus tidak lagi memberi ruang pada para ekspatriat kelas tiga yang dikirim oleh negara-negara asing ke Indonesia.
Berbagai pengalaman menunjukan bahwa para ekspatriat kelas tiga itu bukan hanya tidak mempunyai kapabilitas serta kapasitas keahlian yang cukup, melainkan juga sering menjadi "trouble maker" dalam berbagai kegiatan yang ada.
Mereka tidak pernah memberikan yang terbaik untuk negeri kita, melainkan hanya membuat "placebo-achievement" serta berusaha memperpanjang kegiatan agar mereka terus mendapatkan pekerjaan di negeri kita.
Bahkan dari banyak indikator yang ada maka sudah saatnya pula kita untuk sadar akan dinamika jasa "mata-mata" (intelijen) yang mereka lakukan untuk banyak pihak. Tentu tidak semuanya mereka seburuk itu, namun pengawasan kiranya perlu dilakukan pada sebagian besar mereka.
Berbagai kalimat "berbunga-bunga" dalam visi dan misi agency/NGO asing perlu dievaluasi untuk konsisten dengan kinerja mereka selama ini.
Setidaknya hal itu perlu dilakukan secara sistemik setiap lima tahun sekali.
Agar proses evaluasi yang akan dilakukan Menteri Kehutanan tersebut bisa efisien dan efektif serta bermanfaat untuk negeri ini, maka SDM lokal, baik birokrat, akademisi ataupun praktisi serta pegawai dari para agency/NGO asing tersebut, perlu untuk segera sadar, berbenah diri dan meningkatkan kapasitas serta kapabilitas secara total.
Para birokrat tak perlu takut dengan agency asing. Para akademisi jangan lagi terbuai dengan janji-janji dana penelitian.
Para praktisi tak perlu takut dengan "black campaign". Sedangkan para SDM lokal yang bekerja di agency/NGO asing kiranya perlu pula untuk segera berhenti "menjual bangsa" hanya karena mau mendapatkan gaji besar dari agency.
Dalam konteks politik pembangunan internasional, sudah menjadi rahasia umum bahwa SDM kelas tiga lah yang dikirim oleh suatu negara maju ke luar negeriN untuk berbagai tugas dan fungsi.
SDM kelas satu selalu mereka pakai langsung di dalam negeri sendiri, begitu juga dengan SDM kelas dua mereka yang terus mereka bina di dalam negeri untuk mendukung SDM kelas satu mereka.
Selain bahasa Ibu mereka, maka pengalaman selama ini menunjukan bahwa umumnya para ekspatriat kelas tiga itu hanya mempunyai 25-30 persen kapasitas dan kapabilitas dari kebutuhan program. Sementara gaji serta fasilitas mereka mencapai tiga hingga empat kali posisi manajer lokal.
*) Lektor Kepala Fakultas Kehutanan IPB
Pandangan atas evaluasi Menhut berkolaborasi dengan asing
Selasa, 24 September 2013 16:12 WIB
Proses evaluasi yang akan dilakukan Menteri Kehutanan tersebut juga perlu dipastikan untuk tidak bersifat "tebang-pilih" atau terperangkap pada dinamika "agency-politicking".