Depok (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Prof. dr. Anis Karuniawati mengatakan perkembangan dan penyebaran mikroba resisten obat dapat disebabkan oleh empat hal utama.
"Pertama, penggunaan antibiotik, swa-medikasi, dan faktor lain di komunitas," kata Prof. dr. Anis Karuniawati, di Kampus UI, Kamis.
Kedua, penggunaan antibiotik dan faktor lain di fasilitas layanan kesehatan. Ketiga, penggunaan antibiotik pada produksi makanan, peternakan, dan pertanian.
Keempat, terdapatnya bakteri atau mikroba lain yang resisten di lingkungan, yang merupakan akibat dari tiga faktor lainnya.
Baca juga: Guru besar FTUI ciptakan teknologi tomografi infrared analisa medis
Menurut dia, bakteri resisten muncul akibat kondisi resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR), yakni saat mikroba tidak dapat dimatikan dengan antimikroba yang sebelumnya bisa mematikan.
Sifat resisten bakteri terhadap suatu antibiotik adalah sifat alami akibat mutasi spontan atau berpindahnya materi genetik pembawa sifat resisten dari sel bakteri lain ke dalam sel bakteri tersebut.
Resistensi dapat timbul terhadap satu jenis antibiotik (mono-resisten) atau beberapa antibiotik sekaligus, yang dikenal dengan multi-drugs resistant (MDR).
Menurut dia, untuk menangani hal tersebut, pemerintah Indonesia menerbitkan Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN-AMR) Periode 2017–2019 sesuai dengan rekomendasi Sidang Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly) ke-68 tahun 2017.
Baca juga: Guru besar FTUI ciptakan teknologi tomografi infrared analisa medis
Baca juga: Guru Besar FTUI rekomendasikan tiga strategi manajemen jalan
RAN-AMR yang disusun dengan melibatkan banyak kementerian ini kemudian disahkan sebagai Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 dengan konsep one health.
Konsep one world-one health yang dipublikasikan sejak 2004 ini merupakan strategi global untuk menekankan pentingnya pendekatan yang holistik, trans dan inter-disipliner, serta menggabungkan keilmuan multisektor dalam menangani kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem.
Dalam penerapannya, konsep one health harus melibatkan berbagai tingkat tata kelola kesehatan, mulai dari level global hingga lokal, dengan mendorong pendekatan partisipatif yang mempertemukan masyarakat, pakar ilmiah termasuk dalam bidang sosial, pemerintah, pemangku kepentingan lainnya, serta pihak industri dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Meskipun demikian, dalam kenyataan yang dihadapi oleh banyak negara, struktur pemerintah yang sektoral membatasi perkembangan pendekatan trans-disipliner dan aksi yang terintegrasi.
Baca juga: Guru besar UI: Pengembangan semikonduktor jadi faktor utama ekonomi global
Tantangan utama penerapan konsep one health adalah menghilangkan barrier interdisiplin antar keilmuan, dan untuk mengatasinya diperlukan data berbasis bukti tentang nilai tambah pendekatan one health.
Hal ini menjadi tugas akademisi untuk membangun interaksi keilmuan sains dan sosial untuk mendorong manfaat integratif yang diharapkan dari konsep one health.
“Komitmen berbagai pihak sangat diperlukan dalam pelaksanaan program pengendalian AMR dengan pendekatan one health. Komitmen politik dan kepemimpinan pemerintah diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat. Komitmen penyediaan dana dan koordinator lintas sektor juga dibutuhkan untuk membangun rasa saling percaya, kepemilikan, dan kerja sama," ujarnya.
Selain itu, implementasi RAN-AMR harus dihubungkan dengan program di kementerian/lembaga, dan harus melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama mengingat Indonesia memiliki masyarakat yang sangat beragam adat dan budayanya,” ujar Prof. Anis.
Guru Besar UI sebut penyebaran mikroba resisten obat disebabkan empat hal
Kamis, 14 November 2024 21:46 WIB