Jakarta (ANTARA) - Transformasi Polri dalam menghadapi perubahan sosial semestinya memang bukan sekadar jargon birokrasi, melainkan bentuk adaptasi nyata terhadap dinamika masyarakat yang kian cepat berubah.
Dalam forum Dialog Publik di Jakarta belum lama ini, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko sempat menegaskan bahwa Polri kini membuka diri terhadap kritik dan saran dari masyarakat.
Pernyataan itu mengandung makna penting bahwa kepolisian tidak lagi menempatkan diri sebagai institusi yang kebal terhadap pandangan publik, melainkan sebagai lembaga negara yang sadar bahwa kepercayaan hanya bisa dibangun lewat transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi dua arah.
Bagi Polri, kritik bukanlah ancaman, melainkan bagian dari proses tumbuh dan berbenah untuk menjadi lebih relevan dengan aspirasi masyarakat.
Transformasi yang dilakukan Polri mencakup pembenahan sistem komunikasi, peningkatan profesionalisme personel, serta kesediaan untuk mempercepat respons terhadap perubahan sosial.
Brigjen Trunoyudo mengakui bahwa tugas Polri tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga mendukung keberhasilan program-program pemerintah.
Namun, ia menekankan bahwa komunikasi atas program pemerintah tidak bisa dibebankan hanya kepada Polri.
Di sinilah pentingnya kolaborasi antar kementerian dan lembaga (K/L) untuk membangun pemahaman publik yang utuh.
Keterbukaan Polri juga ditunjukkan melalui kesadaran bahwa semua anggota kepolisian bekerja dengan dukungan penuh dari negara dan masyarakat.
“Dari ujung kaki sampai ujung kepala anggota Polri dibiayai oleh negara,” ucap Brigjen Trunoyudo.
Kalimat ini sederhana tetapi sarat makna yang menyiratkan bahwa setiap rupiah yang digunakan harus bisa dipertanggungjawabkan, dan setiap tindakan harus mencerminkan nilai-nilai pelayanan publik.
Transparansi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan dalam menjaga legitimasi moral di mata rakyat.
Dalam perspektif yang lebih luas mengenai reformasi institusi negara, Polri adalah sebagai “tembok demokrasi” yang menghadapi tantangan tidak ringan.
Namun, reformasi tidak boleh berhenti di Polri semata. Sejatinya yang harus direformasi memang bukan hanya Polri, tetapi juga TNI, Kejaksaan, dan lembaga-lembaga kenegaraan dan pemerintah lainnya.
Kepercayaan tidak bisa dibeli atau dipaksakan, tapi hanya bisa tumbuh dari komitmen yang konsisten terhadap keadilan dan pelayanan.
Polri layak diapresiasi karena mau mendengar dan berdialog dengan kelompok masyarakat kritis.
Sikap semacam ini menandakan bahwa Polri sedang bertransformasi dari institusi koersif menjadi institusi yang komunikatif dan partisipatif.
Tenaga Ahli Kedeputian I Kantor Staf Presiden, Feri Kusuma pernah memberikan perspektif yang berbeda untuk memperkuat pentingnya komunikasi publik lintas sektor.
Menurutnya, program pemerintah yang terangkum dalam Asta Cita hanya akan berhasil jika dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat.
Banyak kebijakan baik yang gagal dipahami publik karena lemahnya strategi komunikasi antar lembaga.
“Kami mengapresiasi Polri yang terus membangun komunikasi kondusif untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap program-program pemerintah,” ujar Feri.
Pernyataan ini menegaskan bahwa kehadiran Polri bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai penghubung antara pemerintah dan rakyat dalam menjembatani pesan pembangunan.
*) Penulis adalah Direktur Great Institute.
Baca juga: LSHI sebut reformasi Polri komitmen kuat pemerintah terhadap penegakan hukumBaca juga: Presiden lantik Komite Reformasi Polri minggu depan
Baca juga: Kapolri: Tim Reformasi Transformasi untuk evaluasi program
