Jakarta (ANTARA) - Tidak banyak negara di dunia yang memiliki kantor berita resmi. Indonesia termasuk salah satu yang memilikinya lewat Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara yang sejak 1962 ditetapkan sebagai kantor berita negara melalui Peraturan Pemerintah Nomor 40/1962.
Jauh sebelum itu, Antara lahir pada 1937 di Batavia melalui inisiatif empat tokoh pers bangsa: Soemanang, Albert Manoempak Sipahoetar, Adam Malik, dan Pandoe Kartawigoena.
Sejak awal, Antara hadir bukan sekadar sebagai medium informasi, tetapi sebagai alat perjuangan bangsa. Catatan sejarah paling penting adalah ketika Antara menjadi corong penyebar kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia pada 1945.
Arsip berita dan foto peristiwa bersejarah itu masih tersimpan rapi hingga kini sebagai bukti bahwa Antara lahir dari idealisme perjuangan.
Namun perjalanan panjang Antara tidak pernah mudah. Sebagai kantor berita negara, Antara selalu berada di persimpangan: bagaimana menjadi jurnalis idealis yang mengedepankan kebenaran, sekaligus menjadi corong resmi negara yang tidak bisa lepas dari kepentingan pemerintah.
Di era banjir informasi seperti sekarang, tantangan itu semakin tajam: publik menuntut independensi, sementara pasar menuntut kecepatan, variasi konten, dan relevansi.
Bagi lebih dari 500 jurnalis Antara yang tersebar di seluruh nusantara, idealisme jurnalistik bukan sekadar slogan. Prinsip dasar bahwa berita harus berpijak pada fakta, data, dan klarifikasi tetap menjadi pegangan utama.
Antara menyajikan berita dengan standar baku: ada peristiwa, ada sumber, ada keseimbangan, ada verifikasi.
Namun, di era digital, standar itu kerap dipertanyakan. Publik lebih akrab dengan arus informasi media sosial yang serba cepat, seringkali tanpa verifikasi.
Pasar media saat ini tidak lagi sekadar surat kabar atau televisi. Publik mengonsumsi berita melalui telepon pintar, media sosial, hingga kanal video streaming.
Antara sadar bahwa jika hanya bertahan pada model lama, ia akan ditinggalkan. Maka penetrasi digital dilakukan dengan serius: akun-akun media sosial Antara kini telah diikuti lebih dari 5 juta orang, dengan konten berita, foto, hingga video yang dikemas menarik.
Salah satu keunggulan Antara adalah otoritas sumber. Berita Antara sering dijadikan rujukan oleh media lain karena memenuhi standar jurnalistik yang tinggi. Inilah nilai tambah yang tidak dimiliki banyak media daring baru. Idealisme jurnalistik inilah yang membuat Antara bisa bertahan dan bahkan menjadi penentu agenda pemberitaan nasional.
Namun, agar tetap relevan, Antara tidak bisa hanya mengandalkan otoritas. Pasar menginginkan inovasi.
Tantangan lain yang kini dihadapi jurnalis Antara adalah masuknya kecerdasan buatan (AI) dalam proses produksi berita. Antara berusaha menjadikan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti, sehingga idealisme tetap berada di tangan manusia.
Di sini keseimbangan kembali diuji: publik ingin cepat, AI bisa membantu itu; tetapi jurnalis harus memastikan nilai berita, konteks, dan akurasi tetap terjaga.
Di tengah gempuran media sosial, algoritma, dan tren berita instan, Antara terus membuktikan diri sebagai lembaga pers yang teguh pada idealisme, sekaligus adaptif terhadap tuntutan pasar.
*) Adrian Tuswandi, Dewas Perum LKBN Antara
Baca juga: ANTARA, merawat kemurnian DNA media pejuang
Baca juga: Kantor Berita ANTARA kerja sama dengan CMG dan Xinhua disaksikan Prabowo-Li Qiang
Baca juga: Suara Indonesia: rumah baru ANTARA, RRI dan TVRI
Baca juga: Saraswati: Indonesia harus punya kantor berita andalan
