Jakarta (ANTARA) - Pria berusia 76 tahun, Mansyur Amien, rela sepatu bot kesayangannya itu tertancap dalam lumpur semata karena tak mau ketinggalan rombongan peneliti dan para pelaku usaha menanam bibit mangrove bersama di Desa Lalombi, Kecamatan Banawa Selatan, Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu 19 Februari 2025. Dialah Mansyur Amien
Desa Lalombi merupakan desa bahari yang berjarak sekitar 64 kilometer dari Kota Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah.
Pria yang juga Ketua Koperasi Tambak Sari, itu menceritakan bagaimana pada dekade 70-an sampai 80-an, mangrove di Desa Lalombi masih tumbuh subur. Kala itu masyarakat desa yang mayoritas dari suku Kaili, Bugis, dan Mandar bisa dengan mudah mendapatkan puluhan kilogram ikan, kepiting bakau, hanya dengan sekali serokan jaring jala.
Hasil tangkapan itu bahkan cukup untuk mencukupi pasokan makanan bergizi untuk anak-anak se-Kabupaten Donggala.
Namun semua berubah ketika datang janji manis program pembangunan daerah yang menghalalkan pembabatan hutan mangrove secara besar-besaran, mengubahnya menjadi tambak-tambak udang.
Gelombang kerusakan dimulai sekitar awal 1990-an ketika budidaya udang dengan cepat menjelma menjadi mata pencaharian utama bagi sekitar 634 kepala keluarga di desa yang asri ini. Sebelumnya, mereka adalah nelayan dan petani.
Hutan mangrove yang tersisa di Lalombi hanya sekitar 50,86 hektare, sementara luas tambak sudah mencapai 300 hektare, mencakup tiga desa: Lalombi, Suromana, dan Tanahmea di Kecamatan Banawa Selatan, Donggala. Akibatnya, saat ini sebagian besar tambak rakyat tidak produktif bahkan banyak yang hiatus.
Tiga tahun terakhir, Mansyur mulai aktif menggerakkan puluhan anggota Koperasi Tambak Sari yang sudah kadung menyerah untuk bangkit. Pijakan pertama mereka adalah menanami kembali mangrove demi memperbaiki ratusan hektare tambak yang ada, tetapi pemulihan lamban kerena terbatasnya modal masyarakat.

Doktor Bau Toknok, peneliti mangrove dari Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, membenarkan bahwa dampak kerusakan mangrove yang parah membuat ekosistem pesisir di Desa Lalombi semakin tidak seimbang.
Tim peneliti sudah menyadari kondisi tersebut sejak lama. Mereka mengingatkan untuk tidak sembarang membuka lahan mangrove, dan juga jangan membuat pematang dengan cara dibendung karena akan menutup sirkulasi air tawar dengan air laut.
Cara tersebut dinilai memudahkan masyarakat yang memanfaatkan pasang laut untuk mengaliri tambak udang. Tetapi terputusnya aliran air tawar dan laut akibat bendungan juga menyebabkan mangrove semakin banyak yang mati.
Belajar dari pengalaman masa lalu, masyarakat pun tidak bisa dibiarkan bergerak sendiri untuk melakukan pemulihan lingkungan. Pasalnya melihat kerusakan yang ada, misi penyelamatan tambak menjadi perjuangan yang padat modal. Oleh karenanya mereka layak mendapat dukungan dari pemerintah daerah dan pihak ekstrenal. Seperti yang sedang dilakukan saat ini.
Penanaman bibit mangrove itu adalah buah kolaborasi antara tim peneliti dari Yayasan Konservasi Indonesia, Universitas Tadulako, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan perusahaan rintisan untuk budidaya udang berbasis teknologi, JALA.
Ocean Program Director Yayasan Konservasi Indonesia Budiati Prasetiamartati menjelaskan bahwa pendekatan ini tidak hanya berfokus pada perluasan tambak, tetapi juga pada perlindungan mangrove dan pemulihan konektivitas ekosistem di sekitar tambak.
Seluas 12 hektare lahan bekas tambak udang di Desa Lalombi, yang dikelola perusahaan JALA, itu mereka jadikan proyek percontohan CSSF, yang dianggap sebagai inovasi pertama tambak udang vaname berkelanjutan berbasis teknologi di Indonesia, bahkan di ASEAN.
Restorasi mangrove ini akan mendukung keberlanjutan produksi tambak udang. Dengan adanya mangrove, air akan disaring dengan baik, dan ekosistem di sekitar tambak, seperti ikan dan kepiting bakau, akan hidup kembali.
Sebagai langkah awal, proyek ini mungkin tidak langsung memberikan dampak besar pada keseluruhan luas mangrove di desa tersebut, tetapi diharapkan menjadi contoh supaya masyarakat juga bisa melakukan hal yang sama.
Mansyur Amien berharap lebih banyak warga Lalombi turut serta dalam upaya pemulihan mangrove. Dia meyakini bahwa inisiatif ini akan membawa masa depan yang lebih baik, tidak hanya bagi tambak udang tetapi juga untuk kelestarian alam di desanya.
Ini adalah upaya menebus dosa masa lalu, mengembalikan yang telah hilang, dan menjaga agar desa ini tetap lestari untuk generasi mendatang.
Baca juga: Kodam Udayana tanam 9.200 pohon mangrove di pesisir Buleleng Bali
Baca juga: PT Timah dan warga Pulau Kundur tanam mangrove
Baca juga: Basarnas tanam 1.000 batang mangrove