Jakarta (ANTARA) - Meskipun menawarkan peluang ekonomi yang lebih luas, gig economy faktanya banyak menimbulkan tantangan terkait kesejahteraan pekerja, regulasi, dan stabilitas industri.
Gig economy yang merupakan sistem ekonomi yang berbasis pekerjaan fleksibel, di mana individu bekerja secara independen atau sebagai mitra tanpa terikat kontrak kerja jangka panjang dengan perusahaan, banyak diterapkan dalam sektor transportasi daring, jasa pengiriman, dan pekerjaan lepas.
Di Indonesia sendiri, gig economy tanpa disadari sedang menjadi polemik. Ini tercermin dalam dunia ojek online (ojol) yang dalam satu dekade terakhir menjadi salah satu tulang punggung instrumen mobilitas masyarakat, khususnya di kota-kota besar.
Puluhan pengemudi ojol melakukan aksi demonstrasi di Kantor Kemnaker pada Senin (17/2). Mereka turun ke jalan dan melakukan mogok kerja untuk menuntut regulasi yang adil dan berpihak, termasuk menuntut adanya tunjangan hari raya (THR) untuk mereka.
Pemerintah merespons dengan melemparkan wacana untuk mengubah status pengemudi ojek online dari mitra menjadi pekerja. Ini semakin menandai babak baru dalam regulasi ekonomi gig di Indonesia.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan telah menegaskan bahwa salah satu perhatian khusus Kemnaker saat ini adalah membuat dan memperkuat payung hukum bagi para pekerja angkutan daring ini.
Kementerian itu, ke depan akan membuat regulasi terkait posisi hukum mereka, bahwa status mereka adalah sebagai pekerja, bukan mitra. Penegasan posisi hukum Itu sangat penting dan kini menjadi kajian dari kementerian tersebut.
Jika wacana perubahan regulasi terkait ojol ini diterapkan, implikasinya akan luas, tidak hanya bagi pengemudi, tetapi juga bagi platform ride-hailing, konsumen, dan ekosistem transportasi secara keseluruhan.
Dalam sistem kemitraan saat ini, pengemudi ojol dianggap sebagai individu yang bekerja secara mandiri, tanpa hubungan ketenagakerjaan langsung dengan perusahaan aplikasi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, perusahaan hanya wajib memberikan THR kepada pekerja yang setidaknya memiliki hubungan kerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWTT). Pengemudi online tidak dianggap wajib mendapat THR karena memiliki hubungan kerja kemitraan dengan perusahaan aplikasi.
Hal ini berarti mereka juga tidak memiliki hak atas gaji tetap atau perlindungan ketenagakerjaan yang sama dengan karyawan tetap di sektor formal.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli terus berkomunikasi dengan Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization) untuk melihat bagaimana pandangan negara-negara lain soal pekerja layanan berbasis aplikasi, seperti pengemudi ojol.
Berkaca pada fenomena serupa di luar negeri, keputusan Mahkamah Agung Inggris pada Februari 2021 mengharuskan Uber memberikan hak-hak pekerja bagi pengemudinya. Uber kemudian mengklasifikasikan lebih dari 70.000 pengemudinya sebagai pekerja setelah keputusan hukum.
Sementara di Spanyol ada implementasi "Rider Law" pada Mei 2021. Ini menunjukkan ada tren global menuju perlindungan lebih besar bagi pekerja sektor gig economy.
Mengacu pada pengalaman di negara lain, seperti Spanyol dan Inggris, perubahan status ini berujung pada peningkatan biaya operasional platform, yang sebagian besar kemudian dibebankan kepada konsumen.
Berdasarkan laporan dari Financial Times, setelah Spanyol menerapkan Rider Law pada Mei 2021, tarif layanan ride-hailing di negara tersebut meningkat hingga 15-20 persen karena platform harus menyesuaikan dengan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi.
Di Inggris, laporan The Guardian menyebutkan bahwa Uber menaikkan harga perjalanan sekitar 10 persen pada tahun 2021 setelah pengemudi diklasifikasikan sebagai pekerja dengan hak-hak ketenagakerjaan penuh, termasuk upah minimum dan cuti berbayar.
Jika skenario serupa terjadi di Indonesia, kemungkinan besar tarif ojol juga akan mengalami kenaikan yang signifikan.
Meskipun demikian, peningkatan tarif bukan berarti kehilangan pasar. Sebaliknya, jika dikemas dengan baik, ini bisa menjadi peluang untuk meningkatkan kualitas layanan dan menarik segmen konsumen yang lebih luas.
Salah satu strategi yang bisa diterapkan adalah segmentasi tarif berdasarkan waktu dan lokasi, mirip dengan model dinamis yang sudah diterapkan Uber di beberapa negara.
Baca juga: 365 personel kepolisian dikerahkan amankan unjuk rasa ojek daring di Kedung Kemenaker
Baca juga: Pakar sebut potongan aplikasi 30 persen beratkan pengemudi ojol