Jakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ) Achmad Nur Hidayat menyarankan pemerintah untuk menggunakan subsidi langsung dalam penyaluran LPG 3 kilogram daripada membatasi akses distribusi hanya sampai level pangkalan.
Saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Sabtu, dia menjelaskan keputusan pemerintah itu berpotensi menambah beban ekonomi yang lebih kompleks, terutama bagi masyarakat kecil.
"Mereka yang sebelumnya bisa membeli LPG di warung-warung kecil dekat rumah, kini harus menempuh jarak lebih jauh untuk mendapatkannya," kata Achmad.
Hal itu berpotensi menambah ongkos logistik yang bisa berkontribusi terhadap inflasi nasional. Sebab, biaya operasional pelaku usaha akan terdampak, terutama UMKM. Biaya tambahan ini pada akhirnya ditransfer ke harga jual produk dan jasa, yang secara langsung berdampak pada harga-harga kebutuhan pokok.
Dia khawatir kondisi itu akan makin menekan daya beli masyarakat.
"Kondisi ini mengurangi kapasitas konsumsi rumah tangga, memperlambat pertumbuhan ekonomi sektor mikro, dan menambah tekanan inflasi," ujarnya.
Achmad juga mengingatkan pemerintah terkait risiko monopoli harga oleh pangkalan. Jika akses masyarakat terhadap LPG 3 kg menjadi lebih terbatas, harga di lapangan bisa makin tidak terkendali.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengubah pengecer LPG 3 kg menjadi pangkalan resmi, dimulai pada 1 Februari 2025.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung meminta para pengecer untuk mendaftarkan diri menjadi pangkalan resmi.
Waktu transisi dari pengecer menjadi pangkalan resmi selama satu bulan. Dengan demikian, pada Maret 2025, tidak ada lagi pengecer LPG 3 kg.
Baca juga: Pertamina tambah fakultatif 711.800 tabung LPG subsidi di Jakarta
Baca juga: Pembangunan industri LPG domestik kurangi impor