Jakarta (ANTARA) - Indonesia, sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan potensi ekonominya dengan kebutuhan untuk menjaga sumberdaya alam.
Implementasi kebijakan mandatori B40 pada tahun 2025 menjadi salah satu langkah strategis yang mendukung kedaulatan energi nasional dan mencapai target net-zero emission. Namun, langkah ini tak lepas dari kritik dalam pengelolaan lingkungan yang dianggap belum optimal.
Kelapa sawit telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Dengan kebijakan B40, pemerintah menargetkan distribusi biodiesel hingga 16,08 juta kiloliter pada tahun 2025, yang diharapkan dapat meningkatkan konsumsi domestik dan mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil.
Sebagai tanaman dengan produktivitas lahan yang tinggi, satu hektare sawit mampu menghasilkan minyak hingga 10 kali lebih banyak dibandingkan kedelai atau bunga matahari. Keunggulan ini menjadi modal besar bagi Indonesia untuk mendominasi pasar global.
Dengan dukungan regulasi seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), pemerintah terus mendorong penerapan praktik berkelanjutan oleh pelaku industri. Untuk itu, kebijakan terkait sawit perlu dirancang secara holistik, mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Keberlanjutan sawit bukanlah persoalan yang dapat dilihat secara hitam-putih. Dengan kebijakan yang tepat, investasi dalam teknologi, dan edukasi bagi petani, Indonesia memiliki peluang besar untuk memaksimalkan manfaat ekonominya sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan
Sebagai respons terhadap tantangan ini, pemerintah memperkuat kebijakan keberlanjutan dengan mewajibkan sertifikasi ISPO bagi seluruh petani dan pelaku industri mulai tahun 2025. Penerapan ISPO diharapkan mampu memperbaiki tata kelola lingkungan, memastikan kepatuhan terhadap standar keberlanjutan, dan meningkatkan daya saing sawit Indonesia di pasar internasional.
Selain itu, para pakar mendorong langkah mitigasi seperti reboisasi kawasan kritis dan pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai strategi untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Para ahli juga menekankan pentingnya memprioritaskan perluasan lahan sawit di kawasan hutan terdegradasi daripada membuka lahan baru yang berisiko memicu deforestasi lebih lanjut. Pendekatan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk memaksimalkan potensi produktivitas lahan tanpa mengorbankan keanekaragaman hayati.
Penelitian menunjukkan bahwa agroforestri sawit mampu meningkatkan produktivitas hingga 30% dibandingkan dengan monokultur, sekaligus mengurangi penggunaan pupuk kimia hingga 20%. Selain itu, sistem ini mendukung pengelolaan sumber daya air yang lebih efisien, sehingga berkontribusi pada keberlanjutan jangka panjang.
Di sisi lain, sebagian besar petani kecil yang terlibat dalam industri sawit sering menghadapi kendala dalam menerapkan praktik berkelanjutan. Oleh karena itu, edukasi dan pelatihan bagi petani menjadi langkah penting. Program ini mencakup pengajaran tentang praktik agronomi berkelanjutan, pengelolaan lahan, dan pentingnya sertifikasi ISPO.
Namun, data terbaru menunjukkan bahwa baru sekitar 35% dari total luas perkebunan sawit di Indonesia yang telah mendapatkan sertifikasi ISPO pada akhir tahun 2023. Angka ini menunjukkan perlunya upaya intensif untuk meningkatkan implementasi sertifikasi guna mencapai target net-zero emission pada tahun 2060.
Selain langkah domestik, kerja sama internasional juga menjadi elemen penting dalam mengatasi tantangan keberlanjutan.
Indonesia dapat memanfaatkan forum global seperti COP (Conference of the Parties) untuk memperjuangkan posisi sawit berkelanjutan dalam transisi energi global. Kebijakan seperti mandatori B40, yang mendukung kedaulatan energi nasional, sekaligus menjadi bukti komitmen Indonesia terhadap energi terbarukan.
*) Kuntoro Boga Andri adalah Kepala Pusat BSIP Perkebunan, Kementerian Pertanian
Baca juga: IPB: Perluasan sawit lewat hutan negara bukan deforestasi
Baca juga: Sawit Watch: Emisi alih fungsi lahan dan hutan besar