Jakarta (ANTARA) - Ketika Bangladesh punya Grameen Bank yang mengantarkan pendirinya, Muhammad Yunus, meraih Hadiah Nobel Perdamaian pada 2006 karena telah membantu jutaan pengusaha mikro terutama perempuan untuk mengakses sumber pembiayaan usaha, maka Indonesia pun ingin punya kebanggaan serupa.
Kredit Usaha Rakyat (KUR) kemudian diinisiasi sebagai salah satu instrumen penting untuk mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia.
Perjalanan KUR tidak sepenuhnya tanpa tantangan. Di balik angka-angka besar dan cerita sukses, ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk memastikan bahwa program ini mencapai potensinya yang sebenarnya.
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pada Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) Kementerian Keuangan Syahrir Ika, R.Nurhidayat, dan Mutaqin pada 2016 pernah melakukan kajian yang juga didukung beberapa studi lainnya tentang KUR.
Riset mereka menunjukkan bahwa sebagian besar penyaluran KUR masih salah sasaran karena disalurkan ke nasabah yang bankable.
Selain itu, jumlah nasabah KUR juga cenderung stagnan atau masih di bawah 5 juta nasabah sejak digulirkan tahun 2007.
Tim riset merekomendasikan esain ulang KUR pola alternatif yang disalurkan tidak oleh bank saja, melainkan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) dengan target nasabah yang berbeda dengan nasabah bank.
Sistem bisa mengadopsi sistem factoring, di mana LKBB menyerahkan piutang lancarnya ke PIP (Pusat Investasi Pemerintah).
PIP akan melakukan investasi ke LKBB dan selanjutnya LKBB menyalurkan KUR kepada nasabah maksimum senilai piutang lancar yang dipunyai LKBB yang bersangkutan.
Cara ini dapat memperluas basis nasabah KUR dan memitigasi risiko kredit macet.
Meby Damayanti dan Latif Adam pada 2015 melakukan kajian serupa bertema Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebagai Alat Pendorong Pengembangan UMKM di Indonesia yang diterbitkan dalam Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Working Paper.
Mereka menemukan bahwa meskipun KUR bertujuan meningkatkan akses permodalan bagi UMKM, implementasinya menghadapi tantangan seperti kurangnya sosialisasi dan koordinasi antara dinas terkait, serta minimnya pendampingan usaha bagi penerima KUR. Hal ini mengakibatkan penyaluran KUR belum optimal dalam mendorong pengembangan UMKM.
Dengan berbagai kajian yang menunjukkan bahwa meskipun KUR memiliki potensi besar dalam mendorong pengembangan UMKM di Indonesia, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi agar program ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan.
Faktanya memang hingga saat ini KUR masih menjadi salah satu kebijakan andalan sebagai solusi untuk memperkuat ekonomi kerakyatan.
Pada 2025, Pemerintahan Prabowo-Gibran bahkan telah menetapkan target penyaluran hingga Rp300 triliun sekaligus menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam mengupayakan dukungan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Pendekatan progresif
Namun, di balik semua ini, ada ruang untuk melihat peluang. Bagaimana jika KUR dirancang dengan pendekatan yang lebih progresif, melampaui sekadar skema pembiayaan?
Pemerintah misalnya bisa mulai memanfaatkan teknologi untuk memperluas akses, bukan hanya bagi UMKM yang sudah terkoneksi, tetapi juga bagi mereka yang berada di luar jangkauan perbankan.
Aplikasi berbasis lokal, misalnya, juga bisa menjadi alat untuk tidak hanya menyalurkan dana, tetapi juga memberi pelatihan, membangun jaringan pasar, hingga memberikan pendampingan bisnis.
Bayangkan aplikasi sederhana yang dapat digunakan bahkan oleh petani yang hanya akrab dengan ponsel fitur dasar, lengkap dengan panduan dalam bahasa daerah.
Selain teknologi, fleksibilitas kebijakan juga patut menjadi prioritas. Alih-alih menerapkan skema satu ukuran untuk semua, pemerintah dapat mengembangkan model pinjaman yang disesuaikan dengan karakteristik usaha.
Petani yang tergantung pada musim panen, misalnya, memerlukan tenor pinjaman yang berbeda dari pengusaha ritel.
Jika KUR dirancang lebih responsif terhadap kebutuhan spesifik ini, dampaknya sangat mungkin bisa jauh lebih signifikan.
Bangsa ini juga tidak bisa mengabaikan potensi komunitas sebagai ujung tombak distribusi KUR. Selama ini, bank masih menjadi saluran utama, padahal koperasi (meskipun sudah ada koperasi simpan pinjam, KUD, dan credit union yang sudah menyalurkan secara channeling), lembaga adat, atau organisasi masyarakat setempat dapat memainkan peran yang tak kalah penting.
Dengan melibatkan komunitas, distribusi dana dapat lebih personal, kontekstual, dan bahkan lebih efektif.
Baca juga: Airlangga pastikan Kredit Investasi Padat Karya Rp20 triliun disalurkan 2025