Bogor (Antara Megapolitan) - Riset aksi adalah proses memahami masalah dan membuat perubahan. Solusi harus menjadi rencana dan aksi di lapangan untuk menguji keberhasilan indikator-indikator yang dipantau. Hasil pantauan menjadi bahan refleksi, selanjutnya berusaha memahami, mencari solusi dari sebuah realitas dan mengimplentasikannya. Berusaha mendapatkan feedback dari riset saat itu juga. Memahami perubahan itu harus dilakukan dalam tahapan riset.
Jumlah hutan rakyat di Pulau Jawa mengalami peningkatan dibandingkan 10 tahun yang lalu. Sebagian besar hutan skala kecil termasuk jati rakyat. Banyak industri kayu sekarang yang ditopang oleh produksi masyarakat terutama jati dan mahoni. Era perusahaan besar di bidang kehutanan sudah hampir over. Sekarang era perusahaan kecil.
''Dunia kehilangan tujuh juta hektar lahan hutan per tahun, Indonesia 0,9 juta hektar lahan hutan. Kalimantan berkurang hutannya, Sumatera stabil tapi Pulau Jawa bertambah. Ini menopang industri-industri meubel skala kecil. Nah, bagaimana industri skala kecil ini bisa bertarung di skala global,'' ujar Guru Besar Tetap di Departemen Manajamen Hutan (MNH) Fakultas Kehutanan (Fahutan) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Herry Purnomo, dalam jumpa pers Pra Orasi Ilmiah di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor (24/8).
Untuk itu, ia melakukan riset aksi, yakni sebuah riset yang mencari solusi dan bisa langsung diterapkan di masyarakat. Riset sekaligus perubahan yang secara statistik teruji. Jadi tidak cukup hanya datang ke lapangan menganalisis kemudian membuat rekomendasi. Jadi harus peneliti sendiri yang melakukan dalam bentuk membuat model-model yang bisa scale in atau scale out.
''Riset aksi tahun 2008-2013 yang kami lakukan di Jepara adalah mendirikan asosiasi pengrajin kayu, meningkatkan akses pasar dan pendapatan pengrajin serta memfasilitasi pengembangan peta jalan. Riset aksi ini kemudian menjadi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2/2014 tentang Perlindungan, Pemberdayaan dan Pembinaan Industri Furnitur oleh DPRD Jepara. Mempengaruhi proses kebijakan merupakan bagian dari riset itu sendiri,'' ujarnya.
Menurutnya, dengan adanya asosiasi ini industri meubel berkembang. Ini memberi insentif tambahan bagi rakyat untuk menanam pohon. Jika marketnya ada, maka warga akan menanam sendiri. “Kenapa hutan banyak diubah ke sawit, karena sawit lebih menguntungkan,†ujarnya.
Di Riau, Prof. Herry melakukan riset aksi penguatan tata kelola untuk pencegahan kebakaran. Bencana Kebakaran Hutan, Kebun dan Lahan (Karhutbunla) merupakan aktivitas ekonomi yang menguntungkan untuk penyiapan dan pengolahan lahan. Karhutbunla ini melibatkan banyak pihak seperti free riders dan rent seekers termasuk perusahaan, cukong dan masyarakat dalam bentuk kejahatan yang terorganisasi.
''Di luar Jawa, jika Anda beli lahan tanpa dibersihkan, harganya 1,5 juta rupiah per hektar. Kalau sudah dibersihkan, bisa 8 juta rupiah per hektar. Ketika dibakar, harganya naik menjadi 11 juta rupiah per hektar. Kenapa dibakar, supaya siap tanam. Ini menjadi aktivitas ekonomi yang ilegal tetapi menggerakkan. Apalagi di lahan gambut, kalau tidak dibakar, mau diapakan itu lahan. Jadi banyak masalah seperti kebakaran itu karena ada aktivitas ekonominya,'' ujarnya.
Dikatakannya, ada 12 juta hektar lahan kebun sawit yang tercatat, tetapi tidak semuanya legal dan tidak semuanya berada di luar kawasan hutan. Ini yang harus diperbaiki.
''Membakar itu jelek, mematikan hewan dan manusia. Sebagian besar orang merasa dirugikan dengan adanya Karhutbunla, bahkan setengah juta orang meninggal akibat Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), tapi berjalan terus karena ada yang diuntungkan. Oleh karena itu, kami kerja sama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) dengan memberi input atau masukan,'' terangnya.
Hasil riset aksi ini kemudian dikomunikasikan dan diliput media dalam negeri dan internasional. Hasil riset dikontribusikan pada rancanganan Peraturan Daerah (Perda) pencegahan kebakaran dan restorasi yang dikomunikasikan juga dengan anggota DPRD dan pemangku kepentingan lainnya. Pada tingkat nasional, hasil riset dikontribusikan dalam penyusunan ''Grand Design Pencegahan Karhutbunla''.(Zul)
Guru Besar IPB Lakukan Riset Aksi Untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan Dan Lingkungan
Minggu, 27 Agustus 2017 14:45 WIB
Dunia kehilangan tujuh juta hektar lahan hutan per tahun, Indonesia 0,9 juta hektar lahan hutan.