Kota Bogor (ANTARA) - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) RI Hadi Tjahjanto pada akhir Juni 2024, menyebut Kota Bogor berada di peringkat dua keterlibatan warganya dalam judi online atau daring. Selain itu, di "Kota Hujan" ini juga tak luput dari adanya kasus kekerasan terhadap anak.
Jajaran dinas terkait, lembaga pemerintahan, hingga legislator di Kota Bogor kini bergotong royong menangani masalah judi online maupun kasus kekerasan terhadap anak hingga para korban bisa berdaya kembali.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) terus melalukan berbagai langkah seperti sosialisasi, edukasi, dan konsultasi.
Menurut Kepala UPTD PPA Kota Bogor Dina Noviani, untuk melindungi anak-anak dan mencegah terjadinya kekerasan, dibutuhkan kesadaran masyarakat agar saling menjaga dan waspada terhadap lingkungan sekitar.
Selama Januari hingga Juli 2024, UPTD PPA Kota Bogor telah menangani 46 kasus kekerasan terhadap anak. Kasus yang terjadi, masih sama seperti tahun sebelumnya, yakni didominasi kekerasan seksual.
Dari kasus-kasus yang ditanganinya, tak jarang ada kejadian satu pelaku menimbulkan banyak korban. Hal itulah yang menyebabkan kasus kekerasan seksual terdata paling banyak, karena penanganannya dilakukan satu per satu tiap anak.
Contohnya, data Polresta Bogor Kota, pada Mei 2024, menyebutkan seorang pria lanjut usia bernama Royan (55 tahun), ditangkap kepolisian karena mencabuli 11 anak di Kelurahan Sukadamai.
Lalu, pada pertengahan Juni 2024, dua kuli bangunan berinisial MH (61) dan ML (48) mencabuli enam anak berusia 10 hingga 14 tahun di Kelurahan Sempur.
Di akhir Juni 2024, lagi-lagi dua lansia ditangkap usai dilaporkan warga setempat, karena mencabuli tiga anak perempuan di Kelurahan Kedungjaya dan Ciwaringin. Dua lansia itu ialah AE (57) dan P (60).
Melihat data tersebut, Dina mengakui, saat ini rata-rata pelaku kekerasan terhadap anak sudah berusia lanjut. Para pelaku memiliki latar belakang keluarga yang tidak utuh seperti masih bujang atau duda.
Apabila pelaku kekerasan merupakan orang dewasa, terdapat unsur si kuat dan si lemah, di mana orang dewasa ini menjadi si kuat dan memiliki kuasa lebih, sedangkan anak-anak yang mudah diancam dan diiming-imingi menjadi korbannya.
Setelah tak dapat menolak atau melawan, anak-anak pun menjadi korban kekerasan, hingga mengalami trauma dan mulai terdapat perubahan perilaku. Para korban ada yang menjadi ketakutan, murung, tidak ingin keluar rumah, dan enggan bercerita kepada orang di sekitarnya.
Lewat konseling
Dina menyampaikan, penanganan untuk anak korban kekerasan adalah dilakukan konseling. Pertama, korban akan dilakukan asesmen psikologis oleh konselor. Dari situ, tingkat trauma korban bisa ditentukan dari rasa takut, cemas, dan emosinya melalui alat tes.
Apabila hasilnya ringan, anak bisa dilakukan konseling oleh para konselor. Namun apabila ada kecenderungan cukup berat, anak langsung dirujuk ke psikolog klinis UPTD PPA untuk diasesmen ulang, diberikan treatment, dan terapi.
Proses konseling ini biasanya dilakukan secara simultan sambil proses hukum berjalan. Tak jarang, ada konseling yang sudah selesai, anak-anak yang menjadi korban sudah kembali berdaya, namun proses hukum di kepolisian atau pengadilan belum selesai.
Meski hal itu baik, UPTD PPA masih memiliki tugas untuk menjaga agar anak yang sudah kembali berdaya tidak kembali trauma saat melanjutkan proses hukum yang masih berjalan.
Misal, anak korban kekerasan harus memenuhi panggilan dan memberikan kesaksian saat sidang di pengadilan. Konselor harus meyakinkan agar anak tak membuat luka lama anak terbuka, bahkan traumanya kembali terulang.
Oleh karenanya, UPTD PPA terus mendampingi, menjaga, dan memantau proses perkembangan korban meskipun sudah kembali berdaya agar tidak dilepaskan begitu saja, sehingga setelah proses hukum benar-benar selesai, anak juga dipastikan sudah benar-benar berdaya.
Tantangan penanganan
Sejauh ini, hambatan dalam penanganan kasus kekerasan anak ialah orangtua yang berubah sikap. Ketika di awal laporan orangtua menggebu-gebu, namun saat proses konseling akan berjalan, mereka justru mendadak menolak melanjutkan kasusnya. Bahkan, ada yang melarang anaknya memberikan informasi kepada konselor.
Hal ini menjadi tantangan berat karena berasal dari lingkungan terdekat korban. Selain itu, tak jarang aparat sekitar juga menjadi hambatan bahkan mempersulit.
Oleh karenanya, selama proses konseling anak korban kekerasan berjalan, secara simultan UPTD PPA juga mengedukasi orangtua. Sehingga para orangtua tau langkah apa yang harus dilakukan di rumah, untuk mendukung upaya UPTD PPA memulihkan sang anak.
Konseling anak korban kekerasan dikatakan berhasil apabila anak kembali berdaya, atau kembali ke kondisi semula. Ceria, mau bersosialisasi, berteman, tidak takut, dan tidak cemas.
Dalam hal ini, informasi dari orang di sekitar sang anak juga dibutuhkan. Apabila sewaktu-waktu anak dapat menyampaikan bahwa dirinya sudah baik-baik saja, mau bermain, dan tidak takut melewati tempat yang membuatnya trauma.
Dina pun menegaskan, baik UPTD PPA, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Bogor, dan lembaga pemerintahan lain yang bertanggung jawab atas perlindungan anak, melarang adanya kata damai dalam kasus kekerasan anak.
Apabila ada korban yang memutuskan untuk mencabut laporan, maka UPTD PPA tidak akan mendampingi apapun tentang pencabutan laporan dan perdamaian.
Karena, apabila UPTD tetap turun tangan, sama saja pihaknya mendukung kekerasan tersebut. Tetapi apabila korban masih membutuhkan pendampingan psikologis, UPTD PPA siap memberikan pendampingan kepada korban
Sehingga, UPTD PPA sebisa mungkin meyakinkan para korban dan keluarganya, bahwa kasus kekerasan terhadap anak tidak bisa damai dan tetap diteruskan hingga proses hukumnya selesai.
Harga mati
Sementara itu, Ketua KPAID Kota Bogor Dede Siti Amanah menegaskan, penuntasan berbagai bentuk kejahatan kekerasan anak merupakan harga mati.
Kekerasan terhadap anak memang tidak mungkin untuk dihapuskan dari muka bumi. Namun dengan sinergi dan kolaborasi maka berbagai bentuk kekerasan anak bisa diminimalisasi baik pada hari ini, maupun di masa yang akan datang.
KPAID Kota Bogor juga terus berkolaborasi dengan UPTD PPA dan Polresta Bogor Kota sebagai mitra terdekatnya, dalam menangani kasus kekerasan anak.
Tak jarang, KPAID Kota Bogor harus turun ke wilayah untuk memastikan kondusivitas, untuk memastikan para korban tidak mendapat tekanan dari oknum tertentu.
Di sisi lain, saat masalah hukumnya ditangani oleh pihak kepolisian, kondisi psikologis anak-anak yang menjadi korban kekerasan ditangani oleh UPTD PPA Kota Bogor.
Dari penuturan beberapa korban kekerasan yang disampaikan Dede, kasus yang para korban laporkan ada yang disebut lemah hingga tidak diproses, bahkan ditolak.
Ke depan, katanya, tidak boleh lagi ada penolakan ketika korban datang melapor ke siapapun. Kasus-kasus tersebut akan diselesaikan selama apapun dan bagaimanapun prosesnya bergulir.
Ia berharap, peringatan Hari Anak Nasional 2024 bisa menjadi suatu refleksi dan evaluasi, agar harapan bagi perlindungan anak-anak, khususnya di Kota Bogor bisa tercapai.
Guna mendukung upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak maka DPRD Kota Bogor juga menunjukkan perhatiannya dengan membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKLP).
Ketua DPRD Kota Bogor Atang Trisnanto mengemukakan, latar belakang dibentuknya Raperda PPKLP karena DPRD melihat kasus kekerasan di lingkungan pendidikan yang terjadi di wilayahnya semakin marak, sehingga dinilai perlu diterbitkan aturan baru guna mengurai dan meminimalisasi terjadinya tindak kekerasan.
Raperda PKKLP ini akan menjadi yang pertama di Indonesia berfokus kepada perlindungan kepada korban, pencegahan, serta monitoring dan pengawasan.
Raperda PPKLP diharapkan bisa menjadi dasar hukum perlindungan berupa pencegahan dan penanganan kekerasan di dalam maupun di luar lingkungan satuan pendidikan.
Dengan demikian, nantinya tidak lagi ada rasa ketakutan di masyarakat akan ancaman kekerasan terhadap anak-anak, baik berupa kekerasan fisik, verbal, seksual, maupun bentuk kekerasan lainnya.