Kota Bogor (ANTARA) - Hari itu, seorang konselor Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Bogor, Jawa Barat, menutup lembar kerjanya. Ini sebagai hasil bahwa seorang lagi korban kekerasan selesai menjalani konseling dan masuk tahap terminasi.
Jadi, proses konseling kepada korban sudah selesai karena yang bersangkutan sudah mulai bisa menjalani kehidupannya dengan baik. Dia sudah tenang, bisa tidur, dan bekerja dengan baik.
Pernyataan dari korban membuat para konselor lega. Namun, tugas konselor tidak berhenti sampai di situ karena mereka masih harus memantau dan mengevaluasi kondisi korban hingga sekitar 3 bulan setelah konseling selesai.
Kepala UPTD PPA Kota Bogor Dina Noviani menyebut sejak 2019 hingga 2023, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani pihaknya meningkat.
Satu demi satu UPTD di bawah Dinas Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bogor menangani para korban, bahkan ada yang sampai loncat tahun karena proses pemulihannya butuh waktu lama.
Pada 2019, tercatat 111 kasus kekerasan yang ditangani. Lalu pada 2020, ada 132 laporan kasus masuk dan ditangani.
Tahun berikutnya, 2021, laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak turun menjadi 114 kasus. Namun, pada 2022 melesat menjadi 140 kasus, dan pada 2023 sedikit naik menjadi 145 kasus.
Bentuk kekerasan yang menimpa perempuan dan anak banyak jenisnya. Banyak di antaranya yang melapor lewat Hotline Pengaduan UPTD PPA di nomor 0811-1115-597.
Pada kasus kekerasan terhadap perempuan, bisa berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) baik secara verbal, fisik, seksual, hingga penelantaran ekonomi. Kemudian gangguan psikis pascaperceraian, penganiayaan, konflik keluarga, dan dan sebagainya.
Adapun kekerasan yang menimpa anak bisa berupa perebutan anak, pelecehan seksual, KDRT, kekerasan fisik dan psikis, perundungan, serta permasalahan nafkah.
Dari bentuk-bentuk kekerasan itu, UPTD PPA Kota Bogor mencatat, pada tahun 2023, anak-anak mengalami pelecehan seksual merupakan laporan yang paling banyak, sementara pada perempuan sebagian besar ditimpa kasus KDRT dan pelecehan seksual.
Pada tahun lalu ada tiga kasus yang paling banyak menyita perhatian publik. Alhasil, UPTD PPA harus bekerja lebih keras menyelesaikan perkara tersebut.
Kasus pertama, yakni oknum guru SDN Pengadilan 2 berinisial BBS (30 tahun), ditangkap polisi usai dilaporkan melakukan pelecehan terhadap 14 orang siswi. Dari hasil pemeriksaan polisi, pelaku dengan seenaknya mengaku melakukan perbuatan bejatnya karena khilaf.
Berdasarkan keterangan korban dan saksi, pelaku melakukan pelecehan sejak Desember 2022, sedangkan aksinya itu dilaporkan terakhir terjadi pada Mei 2023.
Kasus tersebut masih diproses di Pengadilan Negeri Kota Bogor, yakni pemeriksaan saksi-saksi sehingga status hukum dari terdakwa BBS belum mendapatkan vonis.
Kasus kedua, yakni pelecehan seksual di pesantren di Kelurahan Kayumanis. Dalam menangani kasus ini, UPTD PPA membutuhkan waktu cukup lama untuk menggali informasi.
Dua pria pengurus dan pengelola pondok pesantren tersebut dilaporkan mencabuli tiga santriwatinya. Kedua pelaku berinisial AM dan MM ini sudah ditangkap dan sedang menjalani pengadilan di PN Kota Bogor.
Dua pelaku tersebut mencabuli santriwati yang berbeda-beda. Salah seorang terdakwa dilaporkan melakukan aksi tidak terpuji itu dengan modus memperbaiki suara sang santriwati.
Kasus ini viral dan menggemparkan hingga mendapat perhatian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Wali Kota Bogor, dan masih banyak pihak lagi.
Kasus ketiga yakni pelecehan anak oleh ayah tirinya di Kelurahan Mekarwangi, namun hingga saat ini tersangka belum tertangkap.
Dari hasil asesmen penanganan kasus yang dilakukan UPTD PPA, Dina menjelaskan, 90 persen penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak karena faktor sosial dan ekonomi serta ketimpangan kuasa antara pelaku dengan korban.
Sebagai contoh, anak-anak di lingkungan sosial terutama yang warga menengah ke bawah dan di lingkungan padat penduduk, biasanya kurang pengawasan orang tua sehingga anak tak luput menjadi korban kekerasan.
Bahkan, Dina menyampaikan, rata-rata pelaku kekerasan merupakan orang terdekat korban di lingkungan, baik di rumah maupun di sekolah.
Tiga aspek perlindungan
Dalam upaya perlindungan perempuan dan anak, DP3A Kota Bogor menerapkan program yang dibagi dalam tiga aspek, yakni pencegahan, penanganan, dan pemberdayaan.
Dalam aspek pencegahan, DP3A Kota Bogor memiliki program Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga). Program Puspaga aktif untuk berbagi motivasi dan edukasi ke sekolah tentang apa itu kekerasan serta lingkungan yang baik. Para orang tua murid diajak diskusi tentang parenting yang baik oleh para konselor atau psikolog.
Dalam penanganan, UPTD PPA berkoordinasi dengan pemerintah wilayah baik kecamatan maupun kelurahan. UPTD PPA melihat data sebaran kasus, lalu dilihat wilayah mana saja yang darurat membutuhkan penanganan.
Dari situ, dilakukan program konseling keliling sambil terus berkoordinasi dengan wilayah setempat. UPTD PPA melakukan jemput bola, konseling, dan dari pintu ke pintu.
Konseling yang berjalan perlahan-lahan bahkan hingga berbulan-bulan. Treatment ini dianggap selesai apabila korban sudah ada perubahan progres dari kondisi awal, sampai terakhir konseling.
Biasanya konseling selesai dan masuk tahap pemantauan apabila korban sudah berdaya dengan dirinya sendiri, sudah fokus, sudah dianggap bisa melanjutkan kehidupannya seperti biasa. Atau ada kesanggupan langsung yang dinyatakan oleh para korban ini.
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim menyampaikan untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan dan anak harus ditekankan pada peran para pemuka agama, lingkungan, dan tentu Pemerintah yang harus terus memberikan sosialisasi, edukasi, kepada masyarakat.
Sosialisasi edukasi ini di Kota Bogor utamanya dilaksanakan melalui DP3A, sebagai salah satu lembaga yang memang ditunjuk untuk bisa menangani berbagai hal terkait penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Program dan kegiatan yang dilakukan DP3A harus menyentuh sisi yang bisa menjadi bagian penting bagi rumah tangga. Beberapa di antaranya juga dilakukan berkoordinasi dengan dinas lain, seperti Dinas Pendidikan dan Jabar Bergerak Kota Bogor.
Melalui program Seribu Kata Positif (Serbukatif), wawasan anak-anak dan orangtua dibangun untuk selalu berkata baik, menghindari terjadinya perundungan, dan ucapan, sikap, serta tindakan positif lainnya.
Program-program tersebut sudah berjalan, namun harus lebih masif lagi dan terukur ke depan.
Dedie tak memungkiri bahwa anggaran yang berkurang pada tahun ini akibat cadangan untuk kebutuhan Pemilu 2024, yang berimbas pada berkurangnya anggaran beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh dinas di lingkungan Kota Bogor, tak terkecuali DP3A dalam memerangi kasus kekerasan ini.
Kendati demikian, Dedie tetap optimistis bahwa Kota Bogor bisa meraih penghargaan Kota Layak Anak (KLA), dan meningkat statusnya dari Madya menjadi Nindya karena beberapa kriteria KLA sudah dipenuhi Pemkot Bogor.