Jakarta (ANTARA) - Tangan Siti Jamilah dengan cekatan membersihkan lahan dari rumput liar yang tumbuh di antara caisim dan seledri yang disemai di dalam pot. Perempuan 41 tahun itu tangannya begitu cekatan merapikan benih yang disemai sebelum nantinya ditanam di kawasan Kelompok Wanita Tani (KWT) Berseri yang terletak di RW 018 Villa Permata Mas 1 Desa Bojong Nangka, Kecamatan Gunungputri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Dengan memanfaatkan lahan terbengkalai, para anggota KWT menanam sejumlah sayuran untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Tak hanya caisim dan seledri, juga terdapat terong, cabai, kangkung, hingga ubi. Semua tanaman di kawasan tersebut ditanam secara organik dengan memanfaatkan pupuk organik.
Tumbuhan tersebut ditanam langsung oleh anggota KWT Berseri yang terdiri 35 ibu rumah tangga. Para anggotanya merupakan warga kompleks perumahan itu. Mereka bahu-membahu menghidupkan lahan tidur agar dapat dimanfaatkan. Kelompok tani tersebut juga memiliki jadwal piket setiap harinya, mulai dari menanam, memupuk, membersihkan tanaman, hingga memanen.
“KWT ini berdiri pada 2019, awalnya melalui program Bogor Kabupaten Ramah Lingkungan (BKRL) yang kemudian dilanjutkan program Pekarangan Pangan Lestari (P2L),” kata Ketua KWT Berseri, Siti Jamilah, di Kabupaten Bogor.
Tak sulit untuk memasarkan hasil panen karena tingginya permintaan dari masyarakat setempat. Sebagian hasil panen juga dijual ke sejumlah pondok pesantren yang berada tak jauh dari lokasi perumahan. Sebagian lagi dijual kepada masyarakat di kawasan perumahan tersebut.
Pada awal pendirian KWT ini, sebagian besar anggota kelompok ini tidak memiliki pengalaman menanam. Akan tetapi karena jadi Ketua KWT, Siti Jamilah harus belajar secara autodidak, melihat Youtube, dan bertanya pada mereka yang sudah lebih dulu berkecimpung di KWT.
Apalagi, kenang Jamilah yang juga merupakan guru PAUD, kelompok tani tersebut menerapkan sistem pertanian organik yang dinilai lebih sehat dan rasa sayurnya lebih manis.
Siti Romlah (48), anggota KWT Berseri, mengatakan sejak mengonsumsi sayur yang ditanam KWT tersebut, anaknya yang dulunya tak menyukai sayur, sekarang suka makan sayur.
“Kangkung yang ditanam dengan metode organik lebih krenyes sehingga anak saya yang dulunya tidak suka sayur, sekarang menyukainya,” tutur Siti Romlah.
Mereka juga menggunakan teknologi digital yakni mesin HabibiGrow, yang didapat dari Habibi Garden. Dengan mesin tersebut, penyiraman tanaman dilakukan secara otomatis dan terjadwal. Mesin tersebut didapatkan secara gratis oleh KWT yang telah meraih sejumlah penghargaan, mulai dari tingkat kabupaten hingga provinsi tersebut.
Pengelolaan kelompok tani pun dilakukan secara profesional. KWT itu memiliki struktur organisasi yang jelas, jadwal piket, dan laporan keuangan yang dapat diakses masyarakat. Penjualan dari hasil panen dikumpulkan dan digunakan untuk membeli benih dan bibit, serta studi banding ke daerah lainnya. Bahkan setiap awal tahun, kelompok tani tersebut melakukan rapat anggota untuk menentukan kegiatan selama 1 tahun ke depan.
Selain mendapat bantuan dari Pemerintah, KWT tersebut juga berkolaborasi dengan pihak swasta dan perguruan tinggi.
Sejumlah prestasi diraih KWT tersebut mulai dari Kelompok P2L teraktif I di Kabupaten Bogor pada 2019, Laporan terbaik tingkat provinsi Jawa Barat (2020), Juara 1 KWT Teraktif Kabupaten Bogor, Kampung Herbal Kabupaten Bogor (2021), Juara 3 Lomba P2L Kabupaten Bogor, hingga penghargaan Petani Terpilih pada Sayembara Desa Digital Pemprov Jawa Barat (2022).
Pertanian vertikal
Lain KWT Berseri, lain pula kelompok tani Warung Bandrek yang terletak di Kelurahan Bondongan, Kota Bogor, yang memanfaatkan tembok depan rumah warga untuk lahan pertanian. Sejumlah sayuran pun di tanam di tembok tersebut mulai dari kangkung, bayam, pokcoy, dan lainnya.
“(Produksi) sayuran ini bisa dibilang masih kurang untuk memenuhi kebutuhan warga,” kata Ketua KTT Warung Bandrek, Mahfud (71).
Mahfud menjelaskan kelompok tani tersebut didirikan pada 2020 dan masih bertahan hingga saat ini. Tujuannya untuk meningkatkan kebersamaan warga melalui kegiatan pertanian perkotaan dan membantu memenuhi kebutuhan sayur warga serta dapat memperindah gang-gang dengan tanaman sepanjang jalan.
Kelompok tersebut memilih memanfaatkan tembok karena keterbatasan lahan di daerah itu. Masyarakat pun diajak terlibat untuk menyukseskan pertanian di perkotaan tersebut.
Setiap periode dibutuhkan biaya Rp1.000.000 untuk pembelian bibit, benih, dan pupuk. Untuk media tanamnya, mereka memanfaatkan karpet dan jeriken bekas oli.
Jeriken bekas oli ini disebutkan aman dan sudah diuji. Jeriken-jeriken tersebut merupakan bantuan dari perusahaan otomotif.
Hasil panen dijual ke masyarakat di daerah itu. Permintaan cukup tinggi, sayangnya karena keterbatasan lahan tanam, mereka kesulitan untuk memenuhi permintaan. Selain dibelikan kembali untuk bibit dan keperluan menanam, dana yang dikumpulkan tersebut juga dimanfaatkan untuk keperluan sosial.
Meski demikian, untuk pengelolaan kelompok tani Warung Bandrek masih bersifat swadaya dan belum terorganisasi dengan baik seperti layaknya KWT Berseri.
Tantangan terberat dalam pengelolaan pertanian di perkotaan, menurut dia, adalah pola pikir masyarakat dan kendala biaya untuk operasional. Selain itu juga pergantian kepemimpinan seperti pergantian ketua RW turut memengaruhi kelangsungan dari kelompok tani tersebut.
Padahal, jika pertanian tersebut dikelola dengan baik dan melibatkan masyarakat maka hasilnya dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga warga.
Dengan demikian, masyarakat tak perlu panik lagi ketika harga sayur mayur naik di pasaran karena untuk menjawab ancaman krisis pangan, yang dibutuhkan adalah mengolah sumber daya yang ada, bukan dengan menggerutu.