Jakarta (ANTARA) - JDIH (Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum) bertujuan menyediakan akses lebih baik atas informasi hukum bagi masyarakat, termasuk peraturan perundang-undangan dan produk hukum lain, sehingga meningkatkan aksesibilitas dan transparansi informasi hukum.
Perpres Nomor 33 Tahun 2012 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional, dalam Pasal 4 ayat (3), menjadi pijakan hukum adanya pengelolaan dokumen hukum pada Kementerian Negara, Sekretariat Lembaga Negara, Lembaga Pemerintahan Non Kementerian, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Apakah BUMN sebagai badan usaha atau perusahaan yang dimiliki seluruh atau sebagian besar oleh negara melalui penyertaan langsung, dapat melakukan pengelolaan dokumentasi hukum dalam kerangka JDIH ini?
Penting untuk dijawab, pertama, JDIH dipandang sebagai beranda dan sosialisasi keterbukaan, sehingga ketentuan dari BUMN perlu juga disampaikan melalui JDIH. Kedua, BUMN sebagai agen pembangunan perlu membuka ketentuan internalnya, sehingga dapat diketahui dan dipahami pihak eksternal.
Pendekatan untuk menjawab pertanyaan terserbut dari tinjauan formalistik dan substantif.
Dari tinjauan formalistik, yakni perspektif Perpres 33/2012 ditujukan untuk menjamin terciptanya pengelolaan dokumentasi dan informasi hukum yang terpadu dan terintegrasi di berbagai instansi pemerintah dan institusi lainnya.
Dalam kerangka dokumentasi dan informasi hukum, BUMN tunduk kepada UU Nomor 43 Tahun tahun 2009 tentang Kearsipan. Dalam UU Kearsipan tersebut, kewajiban BUMN lebih dititikberatkan pada pendokumentasian atau mengelola arsip, termasuk arsip dokumentasi hukum, yang harus dilakukan dengan baik dan sistematis. Di samping itu, dalam kerangka pengarsipan, BUMN harus memastikan keamanan arsip, mengatur pengaksesan dan penggunaan arsip dan melakukan pemusnahan arsip yang tidak digunakan lagi.
Perspektif kearsipan tersebut lebih menitikberatkan pada aspek “dokumentasi”, bukan pada informasi hukum. Kalau bicara “informasi hukum” yang dikaitkan dengan BUMN, maka impresi yang muncul adalah sosialisasi atau “keterbukaan publik”. Dalam UU Keterbukaan Publik, terdapat 14 macam kewajiban BUMN (dan juga BUMD), antara lain: nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta jenis kegiatan usaha, jangka waktu pendirian, dan permodalan, sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar hingga pergantian akuntan dan mekanisme pengadaan barang dan jasa.
Kesimpulannya, dari sisi muatan informasi, ketentuan dokumentasi hukum korporasi BUMN yang dapat disampaikan ke publik harus dipilih-pilah secara selektif. Karenanya, tidak bisa dengan alasan transparansi, tata kelola dan role model sebagai agen pembangunan, semua ketentuan internal korporasi BUMN secara “serampangan” dapat dibaca oleh publik.
Dari tinjauan substantif, proses utama yang dilakukan melalui media JDIH, yakni pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, pelestarian dan pendayagunaan informasi Dokumen Hukum merupakan hal yang bisa ditiru oleh BUMN.
Keberadaan media seperti JDIH merupakan keharusan namun harus dilakukan dalam platform teknologi informasi yang hanya ditujukan untuk pengguna internal perusahaan. Hal ini misalnya telah dimiliki oleh beberapa perusahaan BUMN atau anak perusahaan BUMN. Semisal PT Pegadaian yang memiliki platform yang dinamai “Be Comply” yang diluncurkan di penghujung bulan Januari 2024.
Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, sejak pertengahan 2024, JDIH Kementerian BUMN telah mengembangkan website JDIH dengan memberikan tambahan fitur “Peraturan tentang BUMN”. Di tahun 2025 nanti, Kementerian BUMN telah dicanangkan upaya menggalakkan jumlah peraturan internal BUMN yang bersifat publik di website JDIH Kementerian BUMN, sehingga dapat mendukung peningkatan kualitas pembangunan hukum serta pelayanan kepada publik secara optimal.
*) Rudi Rusli adalah Koordinator UU3 Kementerian BUMN dan Doktor Manajemen Stratejik Universitas Trisakti
Baca juga: Keberdayaan Bulog