Jakarta (ANTARA) - Tidak banyak pemuda yang berani terjun ke usaha pertanian dengan meninggalkan pekerjaan sebelumnya sebagai pegawai kantoran, tetapi itulah yang dilakukan Alan Effendi, sepuluh tahun yang lalu.
Pria yang kini berusia 36 tahun asal Gunungkidul ini bahkan tidak memiliki pengalaman sama sekali untuk berkutat dengan industri pertanian sejak kecil, meski ayahnya adalah seorang petani.
Banyak halangan dan cobaan, namun akhirnya Alan berhasil membangkitkan perekonomian keluarga. Tidak hanya itu saja, masyarakat sekitar juga menjadi terbantu perekonomiannya berkat keberanian dia untuk meninggalkan pekerjaannya di ibu kota.
Alan, dikenal oleh warga sekitar senang mendistribusikan ilmu dan pengetahuannya kepada warga mengenai tanaman tersebut yang memiliki keinginan dalam membudidayakan lidah buaya.
Pengetahuan dan ilmu terkait lidah buaya didapat secara otodidak dari pemanfaatan digital yang saat ini sudah sangat mudah untuk diakses di berbagai daerah, meski di daerah terpencil sekalipun seperti di tempat dirinya menetap yakni jalan Jeruklegi, Katongan, Nglipar, Gunungkidul.
Meski berada di daratan tinggi, budi daya tanaman lidah buaya ini sukses. Lokasi yang cukup dengan sinaran matahari dan tidak terlalu lembab, semakin menambah subur tanaman yang minim dengan perawatan.
Alan memulai langkah usaha hanya dengan memiliki beberapa batang lidah buaya yang di tanam di pekarangan depan rumahnya. Setelah melewati berbagai tantangan dalam mengelola budidaya di masa awal itu, dirinya baru membuka lahan yang cukup luas untuk benar-benar menekuni lidah buaya yang banyak produk turunannya.
Produk lidah buaya
Tanaman aloevera ini, memang sudah dikenal dengan berbagai produk turunannya seperti untuk industri makanan, kesehatan dan juga perawatan kecantikan yang banyak digunakan di dalamnya.
Tidak heran, jika banyak perusahaan produk kecantikan datang untuk menawarkan kerja sama atau menjadi konsumen tetap produk lidah buaya asal Gunungkidul itu.
Meski konsumen tetap Alan, masih dalam cakupan nasional, dirinya sudah merasa bangga dan juga senang produk tanamannya itu bisa dilirik oleh produsen-produsen besar yang ada di Indonesia.
Untuk pemanfaatannya sendiri, Alan lebih fokus mengembangkan ke produk makanan seperti dijadikan minuman yang menggunakan bahan dari lidah buaya yang terkenal dengan berbagai manfaatnya seperti mencegah gerd, hingga kesehatan pencernaan.
Dirinya baru benar-benar percaya diri untuk memasarkan produk minuman yang dikemas dalam gelas plastik itu, pada 2016. Selama 2014 sampai 2015, Alan hanya mengamati dan juga meriset produknya ke keluarga terdekat.
Setelah produk itu aman untuk dikonsumsi dan juga tidak menimbulkan masalah, dirinya mulai memasarkan ke warung-warung terdekat hingga saat ini sudah bisa sampai ke luar Gunung Kidul tempat dia tinggal saat ini.
Kesempatan bagi Gen Z
Budi daya lidah buaya yang minim dengan perawatan, merupakan potensi besar untuk para petani muda atau kalangan Gen Z yang ingin menjadi petani dengan omset yang lumayan tinggi.
Dalam sebulan omset bersih yang dihasilkan dari tanaman ini bisa mencapai puluhan juta rupiah dengan luasan lahan sekitar 3.000 meter persegi. Meski tidak disebutkan dengan jelas berapa penghasilannya dalam setiap panen. Angka tersebut tentu menggiurkan bagi kaum muda yang ingin beralih profesi.
Petani setempat mendapat harga jual lidah buaya sekitar Rp5.000 sampai Rp6.000 per kilogram sehingga dengan produktivitas per hektare 2,5 ton per bulan maka pendapatan kotor petani minimal Rp12,5 ton per hektare selama sebulan. Jika biaya penyiangan dan perawatan sekitar Rp5 juta maka penghasilan bersih sekitar Rp7,5 juta per bulan.
Persaingan di industri lidah buaya, dikatakan oleh Alan belum begitu banyak. Sehingga, peluang mereka untuk bersaing masih terbuka sangat lebar. Asalkan mereka bisa benar-benar menekuni industri tersebut.
Menurut dia, generasi milenial yang enggan dengan segala keribetan dalam bertani bisa memilih budi daya lidah buaya karena mudah perawatannya dan pasarnya juga masih terbuka.
Kemudahan itu bisa dilihat dengan pergantian pupuk yang hanya dilakukan selama 4-5 bulan sekali. Penyiraman yang dilakukan juga tidak perlu setiap hari atau hanya 4 hari sekali. Hanya saja, jika masuk ke musim penghujan, yang harus diperhatikan adalah genangan air.
Lidah buaya perlu ditanam di gundukan tanah yang agak tinggi untuk menghindari adanya genangan air ini di musim hujan. Harus diperhitungkan arah aliran air saat musim hujan guna meminimalisir genangan air di sekitar tanaman.
Ketika itu tidak terkontrol dengan baik, tanaman tersebut akan tidak menjadi subur dan lembek. Sehingga, lidah buaya tidak bisa dipanen seperti pada umumnya.
Aloe Land
Hingga, kini Alan sudah memiliki ladang seluas 3.000 meter persegi dan lahan tersebut juga dijadikan tempat edukasi bagi para turis yang berkunjung ke Gunugkidul dengan nama Aloe Land.
Di sana, mereka dapat mempelajari segala hal macam terkait lidah buaya, mulai dari menanam, merawat, memanen, dan juga diajari untuk mengolah produk tersebut agar bisa dimanfaatkan menjadi sebuah produk yang menghasilkan.
Alan yang merupakan tokoh inspiratif penerima apresiasi kategori kewirausahaan Astra Satu Indonesia Awards 2023, memang tidak segan untuk berbagi ilmu kepada siapapun. Di tempatnya, banyak mahasiswa pertanian yang sedang melakukan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL)
Berbagai keberhasilan yang ditoreh saat ini, juga tidak lepas dari dukungan berbagai pihak yang sudah banyak membantu Alan dalam hal promosi dan juga pemasaran produknya hingga dikenal luas.
Salah satunya adalah peran Dompet Dhuafa yang merupakan lembaga filantropi islam yang berkhidmat dalam pemberdayaan kaum dhuafa dengan pendekatan budaya, welasasih (filantropis) dan wirausaha sosial.
Kehadiran Dompet Dhuafa dalam pengembangan ekosistem lidah buaya di daerahnya, sangat dirasakan manfaatnya oleh warga sekitar.
Dalam hal kolaborasi ini, Alan hanya memberikan ilmu dan juga bibit secara gratis. Sedangkan Dompet Dhuafa bergerak untuk memberikan bantuan peralatan seperti pot, platter bag, polybag, alat penyiraman dan sebagainya kepada warga.
Kehadiran Aloe Land membuat masyarakat yang tadinya hanya buruh tani berupah Rp90 ribu dalam sehari, kini mereka dapat menghasilkan Rp100 ribu dalam dua jam ketika melayani turis.
Tidak hanya itu saja, mereka juga di rumah masing-masing sudah memiliki puluhan tanaman lidah buaya yang nantinya bisa membantu perekonomian ketika panen berlangsung.