Patut kita sesalkan terjadinya kerusuhan berbau SARA di Kota Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara yang mengakibatkan 3 wihara, 8 kelenteng, dan 2 kantor yayasan mengalami kerusakan parah, walaupun sebelum kerusuhan dalam bentuk amuk massa pada 29 Juli 2016 tersebut terjadi, situasi di kota tersebut sangat kondusif. Bagaimanapun juga, kerusuhan di Tanjung Balai menunjukkan bahwa masyarakat kita masih belum bijaksana menggunakan media sosial, termasuk keberadaan kelompok radikal eksklusif di beberapa daerah sering menjadi pemicu instabilitas keamanan.
Berdasarkan struktur kesukuan atau etnografinya, penduduk Kota Tanjung Balai relatif heterogen, apalagi wilayah tersebut merupakan jalur transit antar-daerah menuju Malaysia, Singapura, dan Batam. Suku bangsa di Tanjung Balai antara lain Batak Toba, Jawa, Melayu, Batak Karo, Batak Simalungun, Tionghoa, dan sebagainya. Sementara, komposisi penduduk berdasarkan agama didominasi penduduk beragama Islam (92%), diikuti sebagian kecil Kristen dan Buddha.
Bagaimanapun juga, kerusuhan anarkis berbau SARA yang terjadi di Tanjung Balai berawal dari perselisihan antara salah seorang warga etnis tertentu dengan pengelola salah satu rumah ibadah, dimana persoalan sepele ini kemudian diprovokasi oleh kelompok kepentingan tertentu melalui media sosial di saat penyelesaian perselisihan tersebut tengah diupayakan oleh aparat pemerintah setempat bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
Keberadaan kelompok radikal eksklusif yang cenderung berpikiran sempit dan bersifat intoleran selama ini cukup diberikan ruang kebebasan berdemokrasi di Tanjung Balai, sehingga kelompok kepentingan berideologi transnasional ini juga sering mengangkat isu-isu sensitif, seperti masalah penguasaan ekonomi di bidang perdagangan oleh etnis tertentu, baik melalui buletin mereka ataupun materi-materi yang disampaikan kepada pengikutnya melalui kegiatan organisasi mereka.
Eskalasi kegiatan kelompok intoleran yang bersifat intoleran ini memang terdeteksi semakin meningkat akhir-akhir ini di wilayah Tanjung Balai yang kerap membawa sentimen SARA, dimana sentimen tersebut akibat kekurangdewasaan masyarakat setempat dalam meresponsnya, sehingga mereka mudah terprovokasi ulah kelompok intoleran tersebut.
Sudah Lama
Permasalahan sentimen negatif terhadap etnis tertentu pada umumnya sudah dipicu sejak lama di wilayah Sumatera Utara, dimana kelompok radikal intoleran sejak tahun 2005 sudah memperlihatkan niat buruknya dalam menyikapi permasalahan sengketa lahan dari sebuah rumah ibadah antara pengembang perumahan dengan kalangan kelompok kepentingan yang sering menggunakan tempat tersebut sebagai basis kegiatan organisasi mereka dalam memprovokasi warga.
Di samping itu, munculnya sentimen SARA yang dituduhkan ke etnis tertentu tersebut tidak hanya terkait bidang sosial dan ekonomi, melainkan juga di bidang politik, baik saat pemilu legislatif, Pilpres apalagi Pilkada.
Tudingan kelompok intoleran terhadap etnis tertentu dengan menuduh mereka melakukan praktik memecah-belah umat agama tertentu melalui perusakan dan penggusuran rumah ibadah tertentu, di bidang ekonomi dengan dominannya penguasaan aktivitas ekonomi oleh pengusaha etnis tertentu dan tudingan praktik gaya hidup eksklusif oleh etnis tertentu sebagai ekses kurang terwujudnya akulturasi budaya di tengah masyarakat. Kondisi ini menyebabkan rentan massa mudah terprovokasi, sehingga menimbulkan gesekan di masyarakat, seperti yang terjadi di Kota Tanjung Balai, dimana jika berlangsung terus atau mengendap menjadi dendam di antara mereka, maka dapat mengancam integritas sosial, kohesi sosial dan merusak persatuan dan kesatuan.
Bisa jadi, kerusuhan di Tanjung Balai juga merupakan refleksi kurang intensnya dialog melalui tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk meredam perkembangan isu SARA, termasuk kurang dibinanya toleransi sosial dan beragama di wilayah Tanjung Balai pada khususnya, dan Sumatera Utara pada umumnya yang notabene dapat disebut daerah rawan konflik karena beragam heteroginitasnya.
Belajar dari amuk massa di Tanjung Balai tersebut, masyarakat Tanjung Balai pada khususnya dan Indonesia pada umumnya harus kembali mengingat sejarah bahwa banyak negara-negara seperti Balkan, Kashmir, Afganistan, Nigeria, dan Sudan yang hancur karena mengabaikan pluralisme dan keberagaman.
Bagi Indonesia, pondasi perbedaan sebenarnya sudah kita ikat melalui kata-kata Bhinneka Tunggal Ika dimana perbedaan yang ada telah kita ikrarkan sebagai perekat persatuan bukan pemicu pertikaian. Apa yang terjadi di Tanjung Balai telah mengingatkan kita kembali bahwa semangat Bhinneka Tunggal Ika mulai terancam di era media sosial. Perbedaan seringkali dijadikan amunisi politik dan bahan propaganda oleh kelompok intoleran untuk merusak persatuan dan menimbulkan gesekan sosial.
Menyimak aksi amuk massa di Tanjung Balai tersebut, Indonesia kekinian masih menghadapi masalah dalam menegakkan toleransi di segala bidang, padahal toleransi merupakan bagian inheren dan melekat dalam kehidupan manusia, karena melalui toleransi yang berhasil akan menciptakan transpormasi sosial.
Sementara itu, aparat penegak hukum dan jajaran Kominfo di seluruh kementrian dan lembaga perlu lebih sering melakukan langkah-langkah strategis, antara lain secara intensif menggelar cyber patrol untuk menghapus konten-konten di media sosial yang merusak intoleransi; melakukan literasi media terkait keberadaan media sosial, melakukan kerja sama dengan lembaga server media sosial (youtube, twiter, instagram, dan lain-lain) yang memberikan privasi kepada pemerintah untuk memblokir dan mendapatkan data para penulis atau pengirim konten-konten informasi yang bersifat merusak untuk dilakukan tindakan hukum, dimana hal ini juga dilakukan dibeberapa negara seperti China dan India.
*) Penulis adalah Alumni Universitas Padjadjaran Bandung (Unpad). Mantan Direktur Komunikasi Massa di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta.
Menyoal Kerusuhan Tanjung Balai
Senin, 1 Agustus 2016 17:42 WIB
Seluruh kementrian dan lembaga perlu lebih sering melakukan langkah strategis, antara lain secara intensif menggelar cyber patrol untuk menghapus konten-konten di media sosial yang merusak intoleransi.