Amsterdam, Belanda (Antara/Reuters/Antara megapolitan) - Pengadilan Arbitrase di Den Haag akan mengeluarkan keputusan pada Selasa terkait perselisihan Laut China Selatan dimana Filipina menantang hak China untuk mengambil sumber daya di wilayah strategis yang luas itu.
China telah memboikot proses di Pengadilan Arbitrase permanen, mengatakan bahwa mereka tidak memiliki wewenang untuk memutuskan permasalahannya.
Pengadilan itu berdiri untuk menghadapi meningkatnya ketegangan di wilayah itu, dimana pengaruh militer China yang semakin besar telah menyebabkan kekhawatiran di antara negara tetangganya dan menjadi poin perselisihan dengan Amerika Serikat.
Amerika Serikat dan China secara rutin melaksanakan latihan militer di wilayah itu, yang merupakan wilayah kepentingan yang penting bagi keduanya, dan telah saling menuduh melakukan provokasi seperti yang terjadi pada bulan lalu.
Surat kabar berpengaruh nasional China, Global Times mengatakan dalam sebuah artikel pada Selasa bahwa reaksi China terhadap keputusan itu "bergantung kepada provokasi".
"Sejauh ini tidak ada pihak terlibat yang menginginkan konfrontasi militer. Namun seluruhnya meningkatkan persiapan militer," tulisnya.
Para pejabat diplomatik, militer dan intelijen Amerika Serikat bersiap akan keputusan itu dan mengatakan bahwa reaksi China terhadap keputusan pengadilan itu akan sangat mempengaruhi bagaimana Filipina, Vietnam dan negara Asia Tenggara lainnya, begitu pula dengan Amerika Serikat menanggapinya.
Jika, contohnya, China mempercepat atau meningkatkan aktivitas militernya di wilayah sengketa, Amerika Serikat dan sejumlah negara lainnya hanya akan memiliki sedikit pilihan selain menanggapi dengan misi maritim dan udara kebebasan bernavigasi yang baru dan kemungkinan diperluas, ujar para pejabat Amerika Serikat yang tidak menyebutkan namanya.
Perencanaan campur tangan untuk latihan yang demikian telah selesai atau sedang dalam tahap akhir, ujar salah seorang pejabat, yang kemudian menambahkan "Kami harap itu tidak akan terjadi".
Meskipun jika Beijing mengabaikan keputusannya, itu akan menjadi pertama kalinya sebuah tantangan hukum yang dibawa ke dalam perselisihan itu, yang melibatkan lima negara dengan klaim yang bertabrakan di lokasi yang kaya akan sumber daya alam itu.
Itu menunjukkan berubahnya keseimbangan kekuatan di perairan seluas 3,5 juta kilometer persegi itu, dimana China telah memperluas pengaruhnya dengan cara membangun pulau buatan dan mengerahkan kapal-kapal patroli yang mengusir kapal-kapal nelayan Filipina.
Kasus itu, yang dilayangkan oleh Filipina pada 2013, berpusat kepada status hukum karang, bebatuan dan pulau buatan di Dangkalan Scarborough dan Kepulauan Spratly.
Akankah para hakim berkuasa?
Kasus 15 poin manila meminta pengadilan untuk memeriksa status "sembilan garis bentang" China, sebuah batasan yang menjadi dasar klaim China terhadap 85 persen Laut China Selatan yang telah dijalankan selama 69 tahun.
Pengadilan itu tidak akan memutuskan masalah kedaulatan teritorial, namun akan mengacu kepada Konvensi hukum Laut PBB (UNCLOS) dalam menentukan negara mana yang dapat mengklaim hak-hak ekonomi, didasarkan oleh posisi geografis.
Di bawah ketentuan UNCLOS pada 1982, pulau-pulau diberikan kepemilikannya di radius 12 mil laut yang menyentuh batas kedaulatan perairan negara.
Manila berpendapat dalam pemeriksaan tertutup pengadilan bahwa tidak ada satupun pulau, dangkalan dan karang di Kepulauan Spratly yang cukup besar untuk diberikan tambahan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 200 mil laut untuk aktivitas nelayan dan pengambilan sumber daya.
Manila juga menentang kendali China terhadap Dangkalan Scarborough, sebuah formasi bebatuan lepas pantai pulau Luzon, Filipina, mengharapkan keputusan yang mengatakan bahwa wilayah itu berada dalam ZEE Filipina.
Keputusan terkait hukum di sembilan garis bentang akan menandakan bahwa para hakim "memutuskan untuk berkuasa," ujar Julian Ku, profesor hukum di Universitas Hofstra. "Jika sembilan garis bentang dinyatakan tidak berlaku, maka secara teori itu akan memberikan semangat kepada negara lain".
Pengadilan itu tidak memiliki kekuatan penegakan, namun sebuah kemenangan bagi Filipina dapat mendorong Taiwan, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam, yang juga memiliki klaim serupa, untuk melayangkan kasus yang sama.
Jepang, yang terlibat dalam perselisihan teritorial terpisah dengan China di Laut China Timur, mengatakan bahwa pihak militernya akan memantau kegiatan China dengan seksama setelah keputusan dijatuhkan.
"Kami mendesak seluruh pihak yang terlibat untuk menanggapi dengan jalan yang tidak meningkatkan ketegangan," Menteri pertahanan Gen Nakatani mengatakan dalam sebuah pengarahan di Tokyo. "Kami akan memantau dengan seksama keadaan di Laut China Timur".
Penerjemah: Mabrian/S. Muryono.
Akan Ada Keputusan Hukum Soal Laut China Selatan
Selasa, 12 Juli 2016 19:06 WIB
China telah memboikot proses di Pengadilan Arbitrase permanen, mengatakan bahwa mereka tidak memiliki wewenang untuk memutuskan permasalahannya.