Jakarta (ANTARA) - Aksi teror bertubi-tubi menimpa Indonesia pasca aksi 9/11 yang terjadi di Amerika, seperti bom Marriot (2003), bom di Kedubes Australia (2004), bom Bali (2005), bom Marriot (2009), Bom Bali II (2012), Bom Surabaya (2018), hingga yang terakhir terjadi di Medan (2019). Khusus pada tahun 2019 yang lalu tercatat 257 orang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana terorisme dari 8 (delapan) kasus teror.
Aksi teror di Indonesia mulai mengkhawatirkan karena melibatkan anak-anak dan remaja. Keterlibatan anak dan remaja dalam tren aksi terorisme di Indonesia sudah dimulai sejak 2009, yakni dalam aksi bom bunuh diri yang terjadi di Hotel JW Marriot. Aksi tersebut melibatkan pelaku berinisial DDP yang baru berusia 18 tahun. Keterlibatan anak dan remaja dalam aksi terorisme kemudian berlanjut hingga 7 (tujuh) aksi teror selanjutnya yaitu di JW Marriot (2009), Gereja Katolik Medan (2016), Malang (2017), Mako Brimob (2018), Cianjur (2018), Surabaya (2018), dan Sidoarjo (2018).
Pelaku yang melakukan aksi bom bunuh diri sendirian umumnya berada dalam rentang usia 18-21 tahun atau masuk dalam kategori remaja. Sedangkan, pelaku anak umumnya terlibat dalam aksi terorisme yang dilakukan bersama-sama dengan keluarganya.
Infiltrasi ideologi terorisme umumnya terjadi melalui keluarga. Keluarga menjadi faktor determinan yang kuat sehingga anak dapat masuk dan terlibat dalam kelompok teroris. Setidaknya hal ini dibuktikan dengan tiga peristiwa pemboman yang dilakukan oleh satu keluarga, yakni di Sidoarjo dan Surabaya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Arianti (2018) terkait tren masa depan partisipasi anak dalam serangan aksi teror di Indonesia, ia menemukan bahwa orang tua berperan besar dalam proses indoktrinasi ideologi radikal pada anak.
Proses indoktrinasi ini dilakukan dengan banyak cara, salah satunya kebiasaan orang tua untuk membawa anak-anak mereka ke sesi kajian dalam kelompok-kelompok pro ISIS seperti yang diadakan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sesi studi atau kajian seperti ini umumnya dilakukan di sejumlah kecil masjid atau di rumah-rumah individu yang telah berjanji setia (ba'iat) kepada ISIS.
Untuk tahapan schooling sendiri, Arianti (2018) menemukan bahwa tahap schooling ini melibatkan pemaparan indoktrinasi intensif melalui guru dan staf yang pro ISIS. Penelitian yang dilakukan oleh International Centre for Political Violence and Terrorism Research (ICPVTR) telah menunjukkan bahwa komunitas ISIS Indonesia memiliki tenaga kerja yang merupakan lulusan sekolah-sekolah Islam. Dengan latar belakang madrasah atau pesantren mereka, para lulusan ini mahir berbahasa Arab.
Beberapa dari mereka, yang telah memilih mengajar sebagai panggilan jiwa mereka telah mengajar di sekolah pro-IS dan bepengalaman memberikan tutorial privat untuk anak-anak. Sekolah-sekolah ini pada gilirannya juga memberikan penghasilan bagi individu pro-ISIS yang berfungsi sebagai administrator atau guru di kampus. Pada saat yang sama, orang tua pro-ISIS juga akan mengirim anak-anak mereka ke sekolah yang selaras dengan ideologi ISIS.
Dana untuk mengoperasikan sekolah (termasuk gaji guru) berasal dari sumbangan publik. Beberapa orang tua pro-IS (termasuk narapidana) yang memiliki pendapatan tidak mencukupi mungkin tertarik dengan biaya sekolah yang rendah atau gratis yang dibebankan oleh sekolah-sekolah ini.
Orang tua, guru, dan lingkungan sekitar sebagai agen-agen dalam proses sosialisasi awal memiliki peran besar mendorong keterlibatan anak untuk aktif dalam kelompok radikal. Lebih spesifik, keluarga berperan besar sebagai agen sosialisasi kunci penentu jalan hidup bagi anak-anak tersebut.
Ketergantungan anak secara fisik maupun emosional kepada orang tua membentuk pola relasi yang tidak seimbang. Anak berada dalam posisi sub-ordinat, sedangkan orang tua dengan segala kekuasaan yang dimilikinya menempati posisi ordinat. Relasi kuasa demikian menyebabkan anak mau tidak mau mengamalkan nilai dan norma yang ditanamkan oleh orang tuanya, termasuk ideologi radikal. Anak tumbuh di dalam lingkungan yang menganut ideologi radikal. Akhirnya, nilai dan norma standard yang dipegang adalah nilai dan norma dari kelompok penganut ideologi radikal tersebut.
Remaja dapat dipahami sebagai sebuah masa. Masa remaja merupakan satu tahapan dalam siklus perkembangan diri yang dialami oleh setiap individu. Santrock (2003) mengartikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional.
Perubahan psikososial yang dialami remaja menggambarkan bagaimana sebenarnya remaja mengalami perubahan karakter dari era kanak-kanak ke masa kedewasaan. “Storm & Stress” atau periode ‘badai dan penuh tekanan’ terjadi karena perkembangan fisik bergerak secara bersamaan dengan perkembangan pada sisi psikisnya.
Perubahan yang terjadi berkenaan dengan hal kejiwaan mencakup perubahan secara emosi dan kecerdasan, meliputi: perasaan yang lebih sensitif, reaktif, kecenderungan melawan, kritis, dan suka mencoba hal baru (Widyastuti, 2009).
Tekanan yang dialami remaja juga didorong oleh tuntutan yang mengharuskan remaja memahami fungsi dirinya dalam hal penanggulangan sikap dan perilaku anak-anak, sehingga dapat menghadapi masa dewasa. Dalam situasi badai perubahan psikososial yang demikian ini, remaja mengalami kerentanan psikologis. Perubahan psikososial sebagai titik kritis yang dialami remaja dalam perkembangannya sebagai individu dibaca dengan baik oleh organisasi-organisasi teroris.
Beragam upaya mereka lakukan untuk menginfiltrasi ideologi radikal di kalangan remaja. Salah satunya, mereka masuk ke sekolah dan kampus yang memang menjadi pusat kegiatan para remaja melalui beragam kegiatan, seperti kajian kerohanian. Dengan pemaparan ideologi radikal di institusi-institusi formal melalui cara-cara demikian, para remaja diharapkan mampu mencapai tahapan pengidentifikasian diri sebagai bagian dari kelompok teroris atau bahkan berkomitmen untuk menjalankan doktrin-doktrin yang telah ditanamkan dan menerima nilai dan norma kelompok yang dikonstruksikan oleh organisasi terorisme sebagaimana tahapan kedua dan ketiga dari empat tahapan yang disebutkan oleh Milla, Faturochman, dan Ancok (2013).
Anak dan remaja yang berstatus sebagai pelaku juga dapat diposisikan sebagai korban. Secara sederhana, korban dapat dipahami sebagai pihak yang mengalami perlukaan, baik secara fisik maupun psikologis, atas suatu peristiwa kejahatan (Shoham, Knepper, & Kett, 2010).
Anak yang tumbuh di lingkungan yang identik dengan ideologi radikal, proses sosialisasi yang melibatkan ideologi-ideologi radikal menempatkan anak pada posisi yang tidak memiliki pilihan. Nilai dan norma radikal yang diinternalisasikan dipahami sebagai nilai dan norma standard bagi mereka. Mereka tidak punya pilihan dan menganggap apa saja yang diberikan oleh orang tua mereka sebagai suatu kebenaran. Oleh karenanya, ketika mereka menjadi pelaku, pada dasarnya mereka telah melaksanakan hasil internalisasi nilai dan norma tersebut. Akhirnya, tanpa disadari, anak berkomitmen untuk terlibat sebagai pelaku dalam aksi terorisme.
Indoktrinasi terhadap remaja menjadi salah satu strategi internalisasi lainnya. Identitas sebagai bagian dari kelompok radikal dikonstruksikan sebagai prestasi. Anak dan remaja dalam kelompok ini menjadi tidak mengenal pilihan “hidup normal” selayaknya anak dan remaja yang hidup di masyarakat umum. Pada akhirnya, keputusan mereka untuk melakukan aksi bom bunuh diri menempatkan mereka sebagai korban indoktrinasi politis oleh kelompoknya sendiri. (54/*).
*) Penulis adalah: Psikolog, mahasiswa Doktoral Kriminologi Universitas Indonesia (UI).
Remaja Dalam Terorisme, Pelaku Atau Korban?
Jumat, 31 Januari 2020 8:51 WIB
Anak dan remaja yang berstatus sebagai pelaku juga dapat diposisikan sebagai korban. Secara sederhana, korban dapat dipahami sebagai pihak yang mengalami perlukaan, baik secara fisik maupun psikologis, atas suatu peristiwa kejahatan.