Salah satu daerah terdampak tsunami adalah Kelurahan Panau, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu tidak kurang dari 40 warga harus kehilangan nyawanya tergulung gelomang setinggi sekitar enam sampai 10 meter. Belum lagi ada ratusan jiwa yang harus mengikhlaskan harta bendanya dirampas oleh laut dan harus mengungsi ke sejumlah lokasi demi menyambung hidup.
Namun di balik kisah duka yang mendalam bagi korban bencana gempa bumi disertai tsunami di Kelurahan Panau ada setitik kisah dari salah satu warga korban terdampak bencana atau penyintas yang bisa diambil pengalaman dan ketegarannya.
Baca juga: PMI bagikan kaki palsu kepada korban gempa dan tsunami di Sulteng
Yakni Misrum, pria berusia 60 tahun yang berprofesi sebagai nelayan di Kelurahan Panau harus kehilangan empat perahu jenis Sema akibat diterjang tsunami dan harus mengungsi beberapa lama di pengungsian yang didirikan Palang Merah Indonesia (PMI).
Tidak ingin larut dalam kesedihan dirinya pun sesekali menengok rumahnya yang terdampak tsunami namun, tidak sampai rusak. Keinginan kuat agar bisa kembali melaut untuk menghidupi keluarganya hanya bisa menjadi impian ayah tujuh anak ini, karena apa daya empat perahunya rusak dan terbelah dihempas tsunami.
Mimpi yang terwujud
Selama dalam pengungsian Misrum tidak bisa berbuat banyak hanya bisa berharap sekaligus berdoa agar bisa kembali mengarungi lautan yang sempat "marah" kepadanya dengan merusak empat perahu Sema jenis Congkreng.
Sesekali untuk mengobati rindunya akan melaut karena sudah berbulan-bulan tidak membentangkan layarnya, ia pergi ke laut yang sudah mulai tenang dan kembali bersahabat. Dipandangnya lautan luas nan biru tersebut oleh Misrum terbenak dalam pikiran untuk bisa kembali menaklukan hamparan luas samudera.
Baca juga: PMI Palu salurkan ribuan paket bantuan untuk penghuni huntara di Petobo
Di tengah ketidakpastian nasibnya Misrum terhenyak sekaligus tidak menyangka dirinya menjadi salah satu penyintas dari belasan penerima manfaat lainnya yang menerima bantuan perahu jenis Sema yang disumbang oleh PMI.
Betapa girangnya ia dan keluarganya, bagaimana tidak impiannya kembali terwujud untuk bisa mengarungi lautan yang sudah menjadi sahabatnya sejak puluhan tahun. Tanpa butuh waktu lama ia pun sudah bisa beradaptasi dengan kendaraan pencari rejekinya itu.
Bahkan yang patut diacungi jempol setelah mendapatkan bantuan dari lembaga kemanusiaan yang didirikan Hanry Dunant ini, ia memilih kembali ke rumahnya dan tidak tinggal dipengungsian lagi. Selain itu, ia dan keluarganya pun tidak ingin selalu berharap menerima bantuan lagi dan lebih memberikan kepada korban tsunami lainnya yang lebih membutuhkan.
Perlahan-lahan, ekonominya kembali bangkit berkat bantuan program livelyhood dari PMI dan kini Misrum kembali mandiri dalam mengarungi kehidupannya bersama keluarga kecilnya.
"Saya tidak ingin terus menerus membayangi bagaimana air laut setinggi sekitar 10 meter menerjang kampung saya. Saya dan keluarga harus kembali bangkit dan dengan adanya bantuan dari PMI ini saya bisa kembali menaklukan laut untuk dijadikan sahabat dalam memenuhi kebutuhan hidup saya dan keluarga," kata Misrum.
Baca juga: PMI Kota Palu menyosialisasikan bahaya HIV AIDS
Sedikit ia pun mengkisahkan bagaimana gelombang tsunami menerjang. Pengalaman pertamanya ini diceritakan secara mendetail olehnya, pada saat itu ia yang baru pulang dari melaut bertemu dengan anak lelakinya yang paling besar dan meminta sebatang rokok.
Namun karena rokok yang ada disakunya hanya sebatang lagi ia pun menyuruh anaknya untuk pergi membeli ke warung. Beberapa langkah anaknya keluar dari pelataran rumah gempa dahsyat berkekuatan 7,4 Skala Richter mengguncang daerah ini.
Sekitar lima menit kepanikan bertambah melihat gelombang tinggi yang paling atas seperti air mendidih, tengahnya berwarna hitam dan paling bawah seperti kobaran api berwarna merah menumbangkan satu persatu pohon kelapa dan meratakan bangunan beton di Kelurahan Punau.
Selepas tsunami kembali ke laut ia melihat bagaimana jenazah orang yang dikenalnya, tetangganya dan orang lain bergelimpangan di jalan dan juga ada beberapa yang mengambang di lepas pantai.
"Tsunami seperti memilih lokasi mana saja yang akan diterjangnya, beruntung kami sekeluarga selamat dan air laut hanya sampai pelataran rumah saja padahal rumah tetangga dan bangunan yang ada di depan rumahnya luluhlantah," ungkapnya.
PMI merupakan keluarga
Kedekatan Misrum bersama PMI sudah tidak bisa dilepaskan lagi, ini terlihat saat bagaimana sambutan hangat dirinya saat tim Humas PMI Pusat bersama relawan PMI Kota Palu menyambangi rumahnya yang sederhana tidak jauh dari bibir pantai.
Beberapa cangkir kopi susu pun disuguhkan istri tercintanya untuk menyambut kedatangan personel lembaga kemanusiaan ini.
"Kartika kamu datang mendadak, kalau diberi tahu sebelumnya
saya bisa menangkap ikan dahulu ke laut untuk kita bakar," ucap Misrum kepada relawan PMI Kota Palu Kartika.
Baca juga: PMI Palu gelar pelatihan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat
Salah satu relawan PMI Kota Palu dari kaum gender yang telah mengerahkan tenaga dan keringatnya ini pun menjawab "tidak perlu Pak kami tidak lama, nanti pasti ke sini lagi untuk bakar ikan," jawab Kartika.
Senda gurau pun seakan tidak ada batasan seperti sudah lama kenal dengan penyintas yang satu ini bahkan, kedekatan PMI dengan Misrum pun tidak hanya sebatas relawan dan korban tetapi, lebih ke persaudaraan yang erat.
Misrum pun beberapa kali berucap terima kasih kepada PMI yang telah memberikan bantuan perahu yang membuat dirinya saat ini bangkit. Pasca-tsunami lalu kehidupannya pun sudah semakin membaik ia pun mengaku mendapatkan hasil dari melautnya setiap hari rata-rata Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.
Dan saat ini ia mencoba peruntungan lainnya yakni menanam rumput laut karena laut di daerahnya sangat cocok untuk menanam tanaman yang mempunyai nilai jual cukup tinggi ini. Maka dari itu, di saat paceklik ikan Misrum tetap bisa mendapatkan penghasilan dari rumput laut. (KR-ADR)