Jakarta (ANTARA) - Direktur Kantor Internasional Universitas Pancasila Prof. Eddy Pratomo yang juga Guru Besar hukum internasional Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.A. menyatakan hukum internasional tidak mengenal referendum bagi wilayah yang sudah merdeka.
"Bukan hanya hukum nasional yang melarang referendum bagi Papua, melainkan juga hukum internasional," kata pakar hukum internasional Prof. Eddy Pratomo.
Sebelumnya Prof Mahfud dalam ceramahnya di Solo baru-baru ini juga menegaskan bahwa hukum Indonesia tidak mengenal referendum untuk penentuan nasib sendiri bagi daerah yang sudah dikuasai.
Prof. Pratomo mengatakan referendum bagi penentuan nasib sendiri hanya dapat dilakukan dalam konteks kolonialisme dan ini sudah dilakukan oleh Papua Bersama seluruh wilayah NKRI lainnya bersama-sama pada tanggal 17 Agustus 1945.
Menurut Pratomo, keinginan segelintir kelompok untuk referendum bagi Papua bukan lagi penentuan nasib sendiri namun masuk kategori separatisme.
"Sayangnya hukum internasional tidak mengakui adanya hak separatisme bagi suatu bagian wilayah, karena hukum ini mengenal prinsip penghormatan terhadap integritas wilayah negara," tegas Prof Pratomo.
Prof. Pratomo juga menyayangkan adanya opini yang dikembangkan oleh kelompok pro kemerdekaan Papua bahwa, seolah-olah Papua memiliki hak yang mirip dengan Timtim, sehingga menganjurkan agar referendum yang sama juga diberikan kepada Papua.
"Ini pandangan keliru yang tidak paham hukum internasional sehingga tidak bisa membedakan status Papua dan Timtim dalam sistem hukum ini," lanjut Pratomo.
Menurut Guru Besar yang lama menangani soal Timtim ini sebelum merdeka, Timtim itu adalah non-self governing territory yang terdaftar dalam daftar Komite 24 PBB, yang berarti berhak atas penentuan nasib sendiri.
Sedangkan Papua tidak pernah masuk dalam list PBB ini karena statusnya sudah menjadi bagian dari NKRI sejak 1945 dan sudah melaksanakan hak penentuan nasib sendiri.
Tuntutan pengulangan referendum akan bertentangan dg prinsip utama dalam hukum internasional dan Piagam PBB yaitu "teritorial integrity" dan "uti possidetis yuris”.
1.Pelaksanaan self determination di Papua melalui Pepera telah sesuai dengan prinsip-prinsip HI dan Piagam PBB.
2.Masyarakat Papua telah melakukan self determination oleh karena itu status Papua sekarang adalah bagian NKRI. Tuntutan-tuntutan untuk melakukan pengulangan referendum bertentangan dengan hukum internasional dengan pertimbangan:
Prinsip self determination dalam kontek dekolonisasi hanya dapat dilakukan satu kali dan tidak bisa berulang ulang. Jadi rakyat Papua tidak bisa lagi menuntut referendum karena bukan lagi dalam konteks kolonialisme atau non governing territory.
Masyarakat Papua juga tidak memiliki dasar untuk menuntut pengulangan referendum berdasarkan pelanggaran HAM atau pelanggaran hak politik, ekonomi dan sosial mereka karena Indonesia telah memberikan hak-hak dasar tersebut, khususnya dengan memberikan Otonomi Khusus melalui UU No. 21 Tahun 2001 yg memberikan kewenangan penuh bagi Papua dan Papua Barat untuk mengelola secara langsung kedua wilayah tersebut.
Resolusi Majelis Umum PBB 2524 (XXIV) yang mensahkan PEPERA 1969 merupakan keputusan final dari PBB dan tidak bisa dipertentangkan lagi untuk merubah Resolusi tersebut. Keputusan ini diterima secara mayoritas oleh anggota PBB. Sejarah perkembangan PBB sejak berdiri sampai sekarang, belum pernah terjadi suatu Resolusi Majelis Umum PBB yang telah diputuskan dan disahkan, kemudian dirubah atau dipertimbangkan kembali.
Penulis : *Prof. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.A.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro Semarang dan Direktur Kantor Internasional Universitas Pancasila.
Prof Pratomo: Hukum Internasional tidak mengenal referendum wilayah yang sudah merdeka
Senin, 2 September 2019 20:42 WIB
Bukan hanya hukum nasional yang melarang referendum bagi Papua, melainkan juga hukum internasional.