Purwokerto (ANTARA) - Sepanjang tahun 2025, hujan tak lagi sekadar berkah di wilayah Banyumas Raya, Jawa Tengah, melainkan ancaman nyata yang memicu longsor di Cilacap dan Banjarnegara serta mendorong kesiapsiagaan daerah menghadapi cuaca ekstrem dan potensi siklon tropis.
Hujan yang turun di Banyumas Raya sepanjang 2025 tidak lagi sekadar penanda musim. Intensitas yang tinggi, durasi yang panjang, serta pola yang semakin sulit diprediksi menjadikan hujan sebagai pemicu utama bencana hidrometeorologi di wilayah yang meliputi Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara.
Di sejumlah daerah, hujan deras yang berlangsung berjam-jam, bahkan berhari-hari, menyebabkan tanah kehilangan daya ikat. Lereng yang semula stabil, perlahan bergerak, sungai meluap, dan akses transportasi terputus.
Bagi warga yang tinggal di kawasan rawan bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor, setiap awan gelap yang menggantung di langit menjadi peringatan dini akan kemungkinan bencana.
Kabupaten Cilacap menjadi salah satu wilayah yang paling merasakan dampak hujan ekstrem tersebut. Karakter geografis di wilayah barat dan utara Cilacap berupa perbukitan, dengan struktur tanah yang relatif labil membuat daerah itu sangat rentan terhadap pergerakan tanah. Sepanjang 2025, hujan deras berulang kali memicu longsor di sejumlah kecamatan, terutama di wilayah barat dan utara Cilacap.
Longsor tidak hanya menimbun rumah warga, juga memutus jalan desa dan jalur penghubung antarkecamatan. Aktivitas masyarakat terganggu, sementara sebagian warga terpaksa mengungsi karena retakan tanah di sekitar permukiman dikhawatirkan berkembang menjadi longsoran susulan.
Salah satu peristiwa paling tragis terjadi di Dusun Tarukahan dan Dusun Cibuyut, Desa Cibeunying, Kecamatan Majenang, Cilacap. Bencana tanah longsor yang terjadi pada Kamis (13/11), sekitar pukul 19.00 WIB, itu menimbun sejumlah rumah warga. Berdasarkan laporan awal, sebanyak 46 orang terdampak, terdiri atas 23 orang selamat, dua orang meninggal dunia, dan 21 lainnya dilaporkan hilang.
Operasi pencarian dan pertolongan berlangsung selama 10 hari. Hingga operasi ditutup pada Sabtu (22/11), jumlah korban meninggal dunia tercatat sebanyak 21 orang, sementara dua korban lainnya tidak ditemukan. Tragedi tersebut menjadi pengingat betapa hujan ekstrem dapat berubah menjadi ancaman mematikan dalam waktu singkat.
Kondisi serupa terjadi di Banjarnegara, daerah dengan topografi pegunungan yang sejak lama dikenal rawan longsor. Hujan deras menjadi faktor pemicu utama bencana, terutama di lereng-lereng curam yang telah dimanfaatkan untuk permukiman dan lahan pertanian.
Di Banjarnegara, hujan deras kerap diikuti suara gemuruh dari perbukitan, pertanda tanah mulai bergerak. Warga yang tinggal di zona rawan harus selalu bersiaga, memantau perubahan lingkungan, dan siap mengungsi jika hujan tak kunjung reda.
Bencana tanah longsor yang menimbulkan korban jiwa juga melanda Desa Pandanarum, Kecamatan Pandanarum, Banjarnegara, pada Minggu (16/11) siang. Longsor tersebut diduga kuat dipicu curah hujan sangat tinggi yang mengguyur wilayah perbukitan selama beberapa jam. Hingga hari terakhir operasi pencarian pada Selasa (25/11), sebanyak 17 korban ditemukan dalam kondisi meninggal dunia, sementara 11 orang lainnya belum ditemukan.
