Jakarta (ANTARA) - Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Target ini ambisius, tetapi bukan mustahil. Hal yang lebih penting dari sekadar angka pertumbuhan adalah cara mencapainya. Selama ini, sistem pembiayaan nasional masih bertumpu pada bunga dan margin perbankan, yang membuat uang berputar lebih cepat daripada barang dan jasa. Bank tumbuh, tetapi sektor riil tertatih.
Kini, saatnya Indonesia mencoba pendekatan baru: pembiayaan berbasis biaya dasar layanan, di mana lembaga keuangan tidak mencari untung dari waktu, melainkan cukup menutup ongkos pelayanannya secara efisien dan transparan.
Dengan pendekatan ini, lembaga keuangan dapat beroperasi sehat, tanpa harus berorientasi pada profit. Masyarakat memperoleh akses modal murah dan transparan. Negara tetap mendapatkan efek pertumbuhan riil yang lebih merata.
Alasan umum bank menolak model nirlaba adalah mahalnya biaya operasional. Namun laporan keuangan banyak bank menunjukkan bahwa sebagian besar biaya tersebut bukan biaya layanan dasar, melainkan biaya korporat: bonus, promosi, target laba, dan berbagai overhead manajerial.
Bank-bank BUMN, misalnya, mencatat biaya operasional sekitar Rp58 triliun per tahun, dengan rasio efisiensi (BOPO) di kisaran 50 hingga 70 persen. Artinya, separuh pendapatan mereka habis untuk biaya internal, bukan untuk pelayanan nasabah. Padahal, jika difokuskan hanya pada biaya operasional inti, seperti sistem, SDM, dan infrastruktur layanan, kebutuhan riil jauh lebih kecil. Di sinilah konsep biaya dasar layanan menjadi relevan: lembaga keuangan bisa tetap hidup efisien, tanpa kehilangan kemampuan melayani.
Data operasional Permodalan Nasional Madani (PNM) memberikan gambaran kuat tentang kelayakan finansial model biaya dasar layanan. Hingga akhir 2024, PNM punya lebih dari 15,4 juta nasabah aktif, pendapatan bersih Rp13,37 triliun, dan beban operasional sekitar Rp11,88 triliun (diestimasi dari laba Rp1,49 triliun). Jika biaya inti dibagi rata, setara Rp770 ribu per nasabah per tahun atau Rp64 ribu per bulan.
Untuk menjaga keadilan, rekomendasi penerapan struktur tarif dapat dibuat bertingkat. Sebagai contoh nasabah ULaMM, yang skalanya lebih besar, dapat dikenakan biaya layanan Rp3 juta per tahun, sedangkan nasabah Mekaar, yang didominasi perempuan prasejahtera, cukup Rp540 ribu per tahun — ada keringanan sekitar 72 persen. Dengan sistem tanggung renteng yang digunakan Mekaar, risiko gagal bayar rendah, sehingga beban Rp45 ribu per bulan di luar angsuran pokok tetap realistis dan berkeadilan.
Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menempatkan Rp200 triliun dana pemerintah di bank-bank Himbara adalah momentum besar untuk menguji konsep ini.
Tidak semua dana harus disalurkan melalui kredit berbunga. Sebagian, misalnya 20 persen (Rp40 triliun), dapat dialokasikan ke PNM untuk dijalankan dengan skema biaya dasar layanan. Dengan rata-rata pembiayaan Rp50 juta per pelaku usaha, dana ini berpotensi menjangkau 800 ribu pelaku UMKM baru. Dampak ekonominya signifikan.
Dengan kata lain, setiap Rp1 dana pembiayaan produktif berpotensi menghasilkan Rp3 – Rp4 tambahan aktivitas ekonomi.
Pertumbuhan 8 persen tidak hanya bisa dicapai lewat investasi besar, tetapi juga dengan memperbaiki cara uang bekerja di tingkat paling dasar. Ketika lembaga keuangan berhenti menjual waktu dan mulai menjual pelayanan, efisiensi meningkat, risiko menurun, dan pemerataan ekonomi menjadi lebih nyata. Tapi perlu diakui, model ini butuh pilot project, pengawasan OJK, dan adaptasi.
*) Baratadewa Sakti P adalah praktisi keuangan keluarga dan pendamping keuangan bisnis UMKM
