Jakarta (ANTARA) - Para pejabat senior dunia baru saja menghadiri Konferensi Kelautan PBB (UNOC) ketiga di Nice, Prancis, pada 9-13 Juni 2025.
Konferensi itu dimaksudkan untuk mencapai rancangan perjanjian demi meningkatkan perlindungan laut yang lebih ambisius, melalui kerja sama multilateral.
Tujuan UNOC3, di antaranya berupaya memobilisasi sumber pendanaan dengan tujuan melestarikan dan menggunakan sumber daya kelautan secara berkelanjutan dan memperkuat serta menyebarluaskan pengetahuan terkait ilmu kelautan, sehingga menghasilkan kebijakan yang mendukung perlindungan laut.
Di Indonesia, upaya-upaya yang sejalan dengan ambisi dalam UNOC3 terus menerus dilakukan, mulai dari pembentukan kawasan konservasi perairan, seperti di Pulau Wetar (Provinsi Maluku); Belu (Provinsi Nusa Tenggara Timur); dan Teluk Saleh (Provinsi Nusa Tenggara Barat), hingga inisiatif pengelolaan laut antarnegara di level bentang laut (seascape).
Pengelolaan seascape (lanskap laut) dimulai pada 2024, melalui Proyek Solusi untuk Ketahanan Pesisir dan Laut di Segitiga Karang (SOMACORE).
Proyek ini merupakan kelanjutan dari inisiatif kerja sama multilateral Coral Triangle Initiative (CTI) yang diluncurkan tahun 2009 oleh para pemimpin negara dalam acara World Ocean Conference (WOC) di Manado.
Inisiatif ini bertujuan untuk menjaga wilayah Segitiga Terumbu Karang bersama negara-negara lain, seperti Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste.
Segitiga Terumbu Karang merupakan sumber daya paling berharga bagi jutaan orang yang tinggal di wilayah pesisir dan sekitarnya.
Hal itu, karena kawasan tersebut menyediakan sumber daya perikanan sebesar lebih dari USD3 miliar dan hasil tangkapan tuna senilai USD1,5 miliar.
Kawasan itu mendorong kemakmuran dengan menyumbang USD1,2 triliun dalam bentuk produk domestik bruto (PDB) dan menghasilkan lebih dari USD24,7 miliar dalam pariwisata berbasis alam dan petualangan.
Di wilayah Segitiga Terumbu Karang, terdapat tiga bentang laut, yaitu Bentang Laut Sulu-Sulawesi (SSS) meliputi antara laut Filipina, Malaysia, dan Indonesia di sisi utara Kalimantan dan Kalimantan Timur di Derawan; Bentang Laut Bismarck Solomon Seas (BSS) yang membentang dari Kepala Burung Papua, Papua Nugini, hingga Solomon Island; dan Bentang Laut Sunda Kecil (BLSK).
Bentang laut yang disebut terakhir menjadi salah satu prioritas konservasi. Alasannya, BLSK memiliki keanekaragaman terumbu karang yang sangat kaya, termasuk habitat unik.
Bentang ini menjadi wilayah yang mendukung berbagai fase kehidupan spesies laut, termasuk migrasi marine megafauna; area pemijahan, mencari makan, serta area asuhan ikan karang dan ikan pelagis; dan daerah yang kaya akan nutrien karena fenomena upwelling, yaitu fenomena alam di mana air laut dari lapisan dalam yang kaya nutrien naik ke permukaan.
Bagaimana melindungi BLSK dapat mendukung ambisi Indonesia mencapai target 30 persen perlindungan laut nasional pada 2045?
Sebagaimana ditegaskan kembali oleh Direktur Konservasi Ekosistem Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Firdaus Agung dalam UNOC3, 10 Juni 2025, Indonesia ingin memenuhi target melindungi 30 persen laut dunia pada 2030 yang mencakup kawasan konservasi laut hingga lebih dari 97 juta hektare, dibanding saat ini 14,4 juta ha.
BLSK adalah wilayah perairan seluas lebih dari 35 juta ha dan hampir 11 ribu kilometer garis pantai yang mencakup Provinsi Bali, NTB, NTT, dan sebagian Kabupaten Maluku Barat Daya di Pulau Wetar, hingga Timor Leste, dan menjadi salah satu ecoregion paling kaya di kawasan timur Indonesia.
Dari hasil kajian pakar kelautan, Kawasan BLSK menduduki peringkat ketiga dalam keankearagaman hayati laut dan spesies endemik, setelah Papua dan Laut Banda.
*) Tutus Wijanarko adalah IKI SOMACORE Project Lead, Konservasi Indonesia
