Samarinda (ANTARA) - Dokter dari Rumah Sakit jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda, Kalimantan Timur, Citra Rahmadani menekankan pentingnya pemahaman dan dukungan dari pihak keluarga bagi penderita gangguan jiwa.
"Peran keluarga menjadi sangat krusial dalam pendampingan penderita gangguan jiwa, khususnya skizofrenia, untuk membantu mereka mencapai stabilitas dan mengurangi kekambuhan," katanya di Samarinda, Minggu.
Menurut Citra, gangguan jiwa seperti skizofrenia adalah kondisi medis yang memerlukan penanganan dan dukungan berkelanjutan, mirip dengan penyakit kronis lainnya.
Meskipun angka kasus skizofrenia tidak sebanyak depresi atau kecemasan, dampaknya yang meresahkan bagi individu, keluarga, dan lingkungan menjadikan peran keluarga sangat krusial dalam penanganannya.
Baca juga: Dinkes Tulungagung pantau tiga ODGJ yang masih dipasung keluarga
Baca juga: Dinkes catat peningkatan angka kasus ODGJ di Ponorogo pada 2024
Citra menjelaskan bahwa skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang ditandai dengan halusinasi dan delusi. Halusinasi bisa berupa visual (melihat bayangan atau objek yang tidak ada) maupun auditorik (mendengar bisikan atau tawa yang hanya nyata bagi penderita).
Sementara itu, delusi atau waham adalah keyakinan yang tidak realistis namun dianggap nyata oleh penderita, seperti waham paranoid (ketakutan dikejar atau dibunuh). "Ini adalah tahapan gangguan jiwa yang paling berat," ujar Citra.
Namun, ia menekankan bahwa skizofrenia tidak langsung muncul dalam kondisi berat. Ada tahapan awal dan faktor pemicu yang perlu diwaspadai. Gejala awal dapat berupa penarikan diri dari lingkungan sosial, gangguan tidur, perubahan kebiasaan mandi yang ekstrem, hingga tiba-tiba bicara atau berteriak sendiri.
"Faktor pemicu skizofrenia sangat beragam. Dari sisi biologis, genetika memegang peranan penting. Jika orang tua memiliki riwayat skizofrenia, ada bibit pada anak-anaknya," terang Citra.
Baca juga: Psikiater: Caleg tanpa tujuan jelas rentan alami gangguan mental
Selain itu, penyalahgunaan narkotika dengan dosis tinggi dan sering juga dapat merusak fungsi sel otak.
Dari sisi psikologis, pola asuh dapat menjadi pemicu. Sementara dari sisi sosial dan lingkungan, perundungan (bullying) atau trauma bisa memicu kondisi ini. Bahkan, Citra menyebutkan faktor belajar agama secara mandiri tanpa bimbingan ahli atau tekanan pendidikan juga dapat berkontribusi.
"Skizofrenia itu ibarat penyakit kronis seperti diabetes atau hipertensi. Penderita tidak bisa sembuh sempurna, namun kondisinya bisa stabil dengan pengobatan dan gaya hidup yang terkontrol," jelas Citra.
Oleh karena itu, tambahnya, pemahaman dan dukungan penuh dari keluarga sangat penting untuk membantu penderita skizofrenia mencapai stabilitas dan mengurangi angka kekambuhan. Keluarga perlu menyadari bahwa gangguan jiwa adalah kondisi medis yang memerlukan penanganan dan dukungan berkelanjutan.