Jakarta (ANTARA) - Terkait teror kepala babi yang ditujukan kepada wartawan Tempo pada Rabu (19/3) lalu, Syahganda Nainggolan, Direktur Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle, mengatakan aksi tersebut sangatlah patut disesali.
"Teror seperti itu melanggar UU Kebebasan Pers No 40 tahun 1999 dan telah mencederai hak-hak wartawan dalam menjalankan fungsinya, juga perbuatan biadab serta mencederai perasaan ummat Islam, karena simbol babi merupakan simbol haram, apalagi dilakukan di bulan suci Ramadhan," tegas Syahganda dalam pernyataan tertulisnya pagi ini.
Untuk itu Syahganda Nainggolan mendesak pihak kepolisian agar segera membongkar kasus teror tersebut dan menangkap pelakunya. Hal itu, untuk memulihkan kepercayaan publik pada pemerintah bahwa tidak ada tindakan di luar hukum dapat berlangsung seenaknya di Indonesia.
Lebih lanjut, Syahganda mengatakan bahwa pihak-pihak yang tidak menyukai wartawan atau pun produk media tertentu dapat mengadukannya ke Dewan Pers maupun membuat berita tandingan, baik melalui media biasa maupun media sosial. Ia mengingatkan berbagai fasilitas penyebaran informasi saat ini sangat tersedia dan gampang untuk meng "counter" sebuah berita yang dianggap menyimpang.
Syahganda juga meminta para wartawan agar memperkuat organisasi mereka untuk menghadapi teror dan tantangan ke depan.
Namun diakui Syahganda perpecahan di organisasi wartawan beberapa tahun belakangan ini, seperti yang terjadi di PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), dapat memperlemah posisi politik wartawan di Indonesia.
"Wartawan harus kuat organisasinya. Jika kuat mereka bisa menghadapi teror dan berbagai tekanan. Organisasi ini harus menjadi pelindung wartawan bukan malah terpecah belah," ungkap Syahganda, mengakhiri pernyataannya.
Sebagaimana diketahui wartawan desk politik Tempo, Fransisca Rosana (Cica), telah mendapatkan kiriman kepala babi dengan kedua telinganya dipotong, yang dikirimkan seorang kurir kantor Group Media Tempo, di Palmerah Barat, Rabu (19/3) lalu.