Jakarta (ANTARA) - Suara canda, tawa, dan teriakan anak-anak terdengar riuh di Taman Pengasuhan Anak (TPA) Beringharjo, Yogyakarta, Senin, 24 Februari 2025.
Di lorong koridor, hentakan kaki kecil bocah yang berlari ke sana-sini, menggema ke seluruh penjuru gedung. Begitulah keseharian tempat penitipan anak usia dini yang ada di Pasar Beringharjo, kawasan Malioboro.
Tak sulit menemukan lokasinya, yakni di sisi selatan pintu utama pasar, berhadapan dengan area parkir. Bangunan bercat putih itu dulunya kantor pengelola pasar. Pada 1980an pasar ini pernah terbakar, lantas direnovasi. Kantor pengelola pindah ke lantai tiga, sehingga bangunan ini sempat terlantar. Hingga akhirnya, pemerintah Kota Yogyakarta menginisiasi pendirian tempat penitipan bagi anak-anak pedagang di pasar tersebut. Papan putih bertuliskan “Tempat Penitipan Anak Beringharjo" menjadi penanda peruntukan baru bangunan ini.
Koordinator TPA Beringharjo Yustina Suyatni bercerita, taman ini merupakan bagian penting bagi anak-anak pedagang Pasar Beringharjo sejak 1994. TPA berbasis komunitas ini bermula dari keprihatinan Ati Widagdo, istri Wali Kota Yogyakarta saat itu, dan istri Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Gusti Kanjeng Ratu Hemas, melihat banyaknya pedagang yang terpaksa membawa anak-anak mereka ke pasar.
Sejak awal pendirian, TPA ini diharapkan bisa membantu para pedagang agar dapat berjualan dengan lebih tenang, sebab, anak-anak mereka diasuh dan mendapatkan pendidikan usia dini yang layak.
Awalnya, hanya ada 20-30 anak yang diasuh di sini, memasuki awal 2000-an, merosot drastis hingga tertinggal 8-9 orang saja, hampir membuat TPA ini ditutup.
Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang dicanangkan pemerintah pada 2006, membangkitkan TPA Beringharjo. Taman ini pun menyesuaikan diri, mengikuti model pendidikan anak usia dini yang diperkenalkan Dinas Pendidikan. Kini, TPA Beringharjo telah berkembang, dan mampu menampung sekitar 60 anak setiap tahun. Pengelola sengaja membatasi karena keterbatasan tenaga pengasuh dan kapasitas ruangan. Padahal, minat orang tua untuk menitipkan anak mereka di sini cukup tinggi, terutama dari kalangan pedagang pasar.
TPA Beringharjo tidak hanya menawarkan tempat penitipan, tapi juga menerapkan program pendidikan usia dini seperti literasi, matematika sederhana, serta kegiatan sosial dan motorik.
Setiap hari, sebelum memulai pembelajaran, anak-anak berkumpul dalam kelompok untuk bernyanyi bersama di ruang tengah.
Setiap hari, anak-anak mengikuti kegiatan yang telah dijadwalkan, mulai dari sarapan, bermain bersama, belajar membaca dan menulis, hingga kegiatan seni dan olahraga ringan. Selain itu, TPA juga memperkenalkan makanan tradisional sebagai bagian dari edukasi kuliner kepada anak-anak.
Selain agenda harian, TPA Beringharjo mengundang komunitas dari luar untuk memberi pengalaman belajar yang lebih beragam. Misalnya, program literasi, bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan Kota Yogyakarta yang secara rutin mengadakan sesi membaca cerita untuk anak-anak. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) juga kerap datang untuk berbagi ilmu dan bermain bersama anak-anak.
Meski dikelola oleh PKK Kota Yogyakarta, pengelolaan TPA Beringharjo tetap menerapkan pola kontribusi orang tua. Namun, iurannya terjangkau, yakni Rp 5.000 per hari. Dana ini digunakan untuk menunjang kegiatan anak-anak. Jika anak tidak hadir, maka tidak ada biaya yang harus dibayar.
“Ini sebenarnya bukan biaya, karena nanti akan dikembalikan dalam bentuk makan siang dan kudapan bagi anak,” terang Tini.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), pada September 2024, melakukan standarisasi dan menetapkan TPA Beringharjo sebagai Taman Asuh Ramah Anak (TARA) dengan peringkat Nindya.

Layanan penitipan anak tak hanya ada di TPA, tapi juga Taman Anak Sejahtera (TAS) yang menawarkan layanan perawatan, pengasuhan, dan perlindungan bagi anak usia tiga bulan hingga delapan tahun. Keberadaan TAS dikembangkan Kementerian Sosial sejak 1963, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan pengasuhan, pembinaan, bimbingan sosial anak balita selama anak tidak bersama orang tua.
TAS juga berperan sebagai tempat perlindungan bagi anak-anak yang membutuhkan dukungan sosial, anak terlantar, korban kekerasan hingga tempat bagi anak yang kedua orang tuanya meninggal. Melalui TAS, anak-anak tersebut dibantu membuat akte kelahiran.
Ketua Forum TAS Indonesia Alifatun Mardiyah mencontohkan, saat terjadi bencana di Palu pada 2018. Di daerah itu ternyata tidak ada panti balita dan akhirnya dititipkan di TAS," katanya.
TAS juga membantu mengedukasi orang tua memahami pola pengasuhan melalui program penguatan anak dan keluarga. Saat ini, TAS di Indonesia telah berkembang menjadi 208 satuan. Namun jumlah itu terus merosot sejak Kementerian Sosial tidak lagi memberikan bantuan pada TAS tepatnya sejak 2019. Banyak TAS yang gonta-ganti menjadi TPA.
Biaya penitipan di TAS sesuai layanan yang diambil. Jasa penitipan anak sehari penuh dikenakan biaya Rp 300 ribu per bulan, termasuk makan dua kali sehari. Sedangkan biaya jasa penitipan harian Rp 15 ribu per hari, dan setengah hari dikenakan biaya Rp 10 ribu. Khusus untuk keluarga tak mampu, gratis.
Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA (Uhamka), Rita Pranawati, mengatakan penyediaan dan pengawasan terhadap layanan penitipan anak mendesak dilakukan, apalagi telah ada Peta Jalan Ekonomi Perawatan dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (UU KIA).
Layanan penitipan anak yang aman dan terjangkau sangat dibutuhkan seiring meningkatnya partisipasi perempuan di dunia kerja, dan perubahan situasi keluarga yang berdampak pada pengasuhan anak.
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik, pada 2021, sebanyak 66,36 persen perempuan bekerja di sektor informal dan 33,64 persen di sektor formal. Sedangkan laki laki 53,68 persen di sektor informal dan 46,32 di sektor formal.
Baca juga: Indofood resmikan Taman Bermain Ramah Anak di PAUD Al Madinah Bandung Barat
Baca juga: Taman 17 Mei ikon baru modern dan bersejarah Tapin Kalsel