Jakarta (ANTARA) - Pemerintahan adalah seni mengelola ketidaksempurnaan. Dalam setiap keputusan, ada dilema yang tak terelakkan, ada pula persimpangan yang memaksa seorang pemimpin untuk memilih antara idealisme dan pragmatisme.
Pemerintahan Prabowo Subianto, di satu sisi, menerapkan kebijakan efisiensi anggaran yang bertujuan merampingkan belanja negara, mengurangi pemborosan, dan memperkuat fondasi fiskal.
Di sisi lain, membentuk kabinet dengan jumlah menteri yang lebih besar dari pemerintahan sebelumnya, sebuah langkah yang menimbulkan pertanyaan terkait efisiensi.
Dalam dunia ekonomi, efisiensi sering dipandang sebagai cerminan dari pemerintahan yang sehat.
Presiden Prabowo, dengan pendekatan yang mengedepankan efisiensi anggaran, tampaknya ingin menunjukkan komitmennya untuk mengelola keuangan negara dengan hati-hati, terutama dalam konteks global yang penuh ketidakpastian pasca-pandemi, krisis energi, dan ketegangan geopolitik yang masih membayangi.
Namun, di balik langkah efisiensi itu, formasi kabinet yang gemuk menjadi anomali yang sulit diabaikan.
Pada 21 Oktober 2024, Presiden Prabowo mengumumkan pembentukan Kabinet Merah Putih yang terdiri atas 48 menteri, 5 kepala badan, dan 59 wakil menteri, sehingga totalnya mencapai 112 pejabat. Ini menjadikannya salah satu kabinet terbesar dalam sejarah Indonesia.
Di sisi lain, Prabowo menerapkan kebijakan efisiensi anggaran dengan target penghematan sekitar Rp306,7 triliun.
Langkah-langkah efisiensi ini mencakup pemangkasan anggaran perjalanan dinas, pengurangan penggunaan alat tulis kantor hingga 90 persen, dan pembatalan program-program yang dianggap tidak esensial.
Salah satu kementerian yang terdampak signifikan atas kebijakan efisiensi adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, yang anggarannya dipangkas sebesar Rp8 triliun.
Pemotongan ini termasuk pengurangan besar-besaran dalam pos alat tulis kantor, sebuah langkah yang mungkin terlihat kecil namun berpotensi berdampak pada operasional sehari-hari di sekolah-sekolah.
Kementerian Pekerjaan Umum menghadapi pengurangan anggaran lebih dari 70 persen, yang berdampak pada pembatalan proyek infrastruktur seperti jalan tol dan bendungan.
Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo harus mencari cara untuk berhemat dan mengalihkan fokus ke empat bidang pembangunan infrastruktur bidang pekerjaan umum tahun 2025, seiring dengan adanya efisiensi anggaran kementerian yang mencapai Rp81,38 triliun dari anggaran sebelumnya yang sebesar Rp110,95 triliun.
Di sinilah paradoks kebijakan muncul dengan jelas. Sementara kementerian seperti pendidikan dan PU harus menghadapi pemangkasan anggaran yang ketat, beberapa kementerian strategis lainnya tidak mengalami pengurangan yang sama, bahkan ada yang menerima tambahan alokasi dana.
Hal ini menunjukkan masih perlunya ada upaya penyeimbangan dalam penerapan efisiensi anggaran. Sebagai contoh, Kementerian Pertahanan tetap mendapatkan alokasi anggaran yang besar, sejalan dengan komitmen pemerintah untuk memperkuat sektor pertahanan nasional.
Jika melihat kasus dari negara-negara lain, seperti Jerman atau Selandia Baru, mereka berhasil menjalankan pemerintahan yang efektif dengan struktur kabinet yang ramping.
Jerman, sebagai ekonomi terbesar di Eropa, memiliki kabinet yang fokus pada kementerian strategis, meminimalkan birokrasi, dan menekankan efisiensi dalam setiap lini pemerintahan.
Kembali ke konteks Indonesia, pembentukan kabinet yang besar bukan tanpa risiko. Biaya operasional meningkat, dari gaji pejabat hingga anggaran pendukung untuk kegiatan kementerian.
Dalam situasi di mana efisiensi anggaran menjadi prioritas, alokasi dana untuk mendanai struktur pemerintahan yang besar bisa menggerus potensi penghematan yang dihasilkan dari pemotongan anggaran di sektor lain.
Pada akhirnya, efisiensi anggaran bukan hanya tentang angka-angka di atas kertas, tetapi bagaimana kebijakan tersebut diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Pemerintah yang efisien adalah pemerintah yang mampu memberikan layanan publik berkualitas tinggi dengan biaya yang wajar, mengelola sumber daya secara bijak, dan memastikan bahwa setiap kebijakan memberikan manfaat nyata bagi rakyat.
Presiden Prabowo memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa efisiensi dan efektivitas bisa berjalan beriringan, bahkan dalam struktur pemerintahan yang besar.
Tantangannya adalah menjaga konsistensi antara retorika dan realitas, antara janji dan pelaksanaan.
Karena pada akhirnya, rakyat akan menilai bukan dari seberapa besar atau kecil kabinetnya, tetapi dampak baik dari kebijakan yang bisa mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Efisiensi jadi langkah optimal pengelolaan keuangan